BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran
– Aliran Dalam Fiqh
Secara
historis, hukum Islam telah menjadi dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad
saw. Dua aliran tersebut adalah Madrasat al-Madinah dan Madrasat al-Baghdad
atau Madrasat al-Madis dan Madrasat al-Ra’y. Ibnu al-Qayim al-Jauziyyah
menyebutnya sebagai Ahl al-Zhahir dan Ahl al-Ma’na [Atang Abd Hakim dan Jaih
Mubarok, 2001:159]. Aliran Madinah terbentuk karena sebagian besar sahabat
tinggal di Madinah, dan aliran Bagdad atau Kufah juga terbentuk karena sebagian
sahabat tinggal di kota tersebut. Maka, atas jasa para sahabat Nabi Muhammad
saw yang tinggal di Madinah, terbentuklah fuqaha sab’ah [ahli hukum] yang juga
mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat. Di
antara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin al-Masayyab. Salah satu murid Said bin
al-Musayyab adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Sedangkan di antara murid Ibnu Syihab
al-Zuhri adalah Imam Malik, pendiri aliran Maliki. Di antaranya, ajaran Imam
Malik yang paling terkenal adalah ia menjadikan ijma dan amal ulama Madinah
sebagai hujah. Jasa sahabat Nabi Muhammad saw, yang tinggal di Bagdad,
terbentuklah aliran ra’yu. Di antara sahabat yang tinggal di Kufah adalah Abd
Allah bin Mas’ud, muridnya adalah al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i, Amir bin
Syarahil al-Sya’bi, dan Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi. Salah satu ciri
fikih Abu Hanafiah adalah sangat ketat dalam penerimaan Hadis dan banyak
menggunakan ra’y. Di antara pendapatnya adalah bahwa bendak wakaf boleh dijual,
diwariskan, dan dihibahkan – kecuali wakaf tertentu – karena ia berpendapat
bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap menjadi miliki yang mewakafkan.
Istimbath al-ahkam yang digunakannya adalah analogi [al-qiyas]; ia
menganalogikan wakaf kepada pinjam-meminjam [al-‘ariyyah] [Atang Abd Hakim dan
Jaih Mubarok, 2001:159].
Setelah
melalui perkembangan panjang, produk hukum “mengkristal menjadi mazhab-mazhab
fikih yang tetap bertahan dan diikuti sampai saat ini. Ulama-ulama fikih
mengembangkan dua pendekatan yang berbeda terhadap fikih. Satu didasarkan
kepada “pemikiran” [ra’yi] dan “alnalogi” [qiyas]. Pendekatan ini diwakili oleh
ulama-ulama Iraq. Satunya, produk hukum didasarkan pada sunnah, tradisi-tradisi
Nabi. Pendekatan kedua diwakili oleh ulama-ulama Hijaz, dan di kalangan
orang-orang Iraq, terdapat sedikit hadis, karena itu mereka lebih menonjol
menggunakan pendekatan analogi, sehingga mereka disebut ahl al ra’yi.
Tokoh-tokoh Kufah [Irak] yang menjadi pusat mazhab dari jama’ah dan sahabat
adalah imam Hanafiah. Sedangkan di Hijaz adalah Malik bin Annas, dan sesudahnya
asy Syafi’I [Khaldun, 2001:566].
Sejalan
dengan perkembangan hukum, telah melalui proses yang panjang dan kemudian
produk hukumnya mengkristal menjadi mazhab-mazhab fikih yang tetap bertahan dan
diiukuti sampai saat ini, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali
antara lain:
1.
Abu
Hanifah al-Nu’man ibn Sabit, berasal dari keturunan Persia dan lahir di Kufa
pada tahun 700 M. Ayahnya bekerja sebagai pedagang dan Abu Hanifah sendiri sambil
berdagang mementingkah ilmu pengetahuan. Abu Hanifah belajar pada gurunya
Hammad, dan setelah gurunya Hammad meninggal dunia, Abu Hanifah menggantikan
tempat yang ditinggalkan gurunya itu. Setelah Abu Hanifah menjadi masyhur,
kepadanya jabatan resmi ditawarkan di zaman Dinasti Bani Umayyah dan kemudian
juga di zaman Dinasti Bani Abbas. Tetapi kedua tawaran tersebut di tolah oleh
Abu Hanifah dan atas penolakannya itu akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan
meninggal dunia di tahun 767 M.
Mazhab Hanafi,
merupakan mazhab yang resmi digunakan oleh kerajaan Usmani dan di zaman Bani
Abbas banyak di anut di Irak. Sekarang penganut mazhab itu banyak terdapat di
Turki, Suria, Afganistan, Turkistan, dan India. Beberapa negara masih memakai
mazhab ini sebagai mazhab resmi seperti Suria, Lebanon, dan Mesir [Harun
Nasution, 1986:14-15].
2.
Malik
ibn Anas, lahir di Medinah pada 713, dan meninggal pada tahun 795 M dan berasal
dari Yamam. Malik, tidak pernah meninggalkan kota itu kecuali untuk
melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Karya besar yang ditinggal Malik, bernama
“al-Muwatta” suatu buku yang sekaligus merupakan buku hadis dan buku fikih.
Khalifah Harun al-Rasyid, berusaha membuat buku ini sebagai buku hukum yang
berlaku untuk umum di zamannya, tetapi tidak disetujui oleh Malik. Dalam
perkembangan pemikiran hukumnya, Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan
sunnah Sahabat. Dalam hal adanya perbedaan antara sunnah, ia berpegang pada
tradisi yang berlaku di masyarakat Medinah, karena ia berpendapat bahwa tradisi
yang terbentuk di Medinah berasal dari sahabat, dan tradisi sahabat lebih kuat
dipakai sebagai sumber hukum.
Dalam proses menetapkan hukum, apabila Malik,
tidak dapat memperoleh dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, Malik, memakai
“qiyas” dan “al-masalih al-mursalah”, yaitu masalah umum. Mazhab Malik, banyak
dianut di Hejaz, Marokko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan
Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah Barat dan kurang di dunia Islam sebelah
Timur [Harun Nasution, 1986:16].
3.
Muhammad
ibn Idris al-Syafi’i, lahir di Gazza tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa
Quraisy, meninggal di Mesir pada tahun 820 M. Ia meninggalkan pekerjaannya dan
tinggal di Bagdad beberapa tahun untuk mempelajari ajaran-ajaran hukum yang
ditinggalkan Abu Hanifah, maka ia mengenal secara dekat fikih Malik dan fikih
Abu Hanifah. Pada memikiran hukumnya, al-Syafi’I dikenal meninggalkan dua
bentuk mazhab, yaitu bentuk bantuk baru dan bentuk lama. Bentuk lama disusun di
Bagdad dan terkandung dalam al-Risalah, al-Umm, dan al-Mabsut. Bentuk baru
disusun di Mesir dan disini al-Syafi’I, merobah sebahagian dari
pendapat-pendapat lama. Dalam pemikiran hukumnya, al-Syafi’I, berpegang pada
lima tidak diketahui adanya perselisihan mereka di dalamnya, pendapat yang
dalamnya terdapat perselisihan dan qias atau analogi. al-Syafi’I, banyak
memakai sunnah Nabi sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah dekat sederajat
dengan al-Qur’an. Pemikiran Istihsan yang dibawa Abu Hanifah dan pemikiran
al-masalih al-mursalah oleh Malik, ditolak oleh al-Syafi’I sebagai sumber
hukum. Dalam perkembangannya, al-Syafi’I-lah ahli hukum Islam pertama yang
menyusun ‘ilmu usul al-fiqh, ilmu tentang dasar-dasar hukum dalam Islam,
sebagai terkandung dalam buku al-Risalah.
Mzhab
imam al-Syafi’i banyak berkembang dan dianut didaerah pedesaan Mesir,
Palestina, Suria, Lebanon, Irak, Hejaz, India, Indonesia, dan juga di Persia
dan Yaman [Harun Nasution, 1986:17].
4.
Ahmad
ibn Hambal, lahir di Bagdad tahun 780 M berasal dari keturunan Arab dan ia
meninggal di Bagdad pada tahun 855 M. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad ibn
Hambal menggunakan lima sumber, yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi, pendapat sahabat
yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seseorang
atau beberapa sahabat, dengan syarat sesuai dengan al-Qur’an serta sunnah Nabi,
hadis mursal, dan qiyas, tetapi hanya dalam keadaan terpaksa. Penganut mazhab
Ahmad ibn Hambal, terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina, dan Arabia. Di
Saudi Arabia mazhab Ahmad ibn Hambal merupakan mazhab resmi dari negara.
Dilihat dari sisi pengikutnya, dintara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab
Ahmad ibn Hambal termasuk paling kecil penganutnya [Harun Nasution, 1986:18].
B. Aliran Aliran Dalam
Ushul Fiqh
1. Aliran Mutakallimin
Para ulama
dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang
digunakan dalam ilmu kalam yakni menetapkan kaidah ditopang dengan
alasan-alasan yang kuat baik naqliy (dengan nash) maupun 'aqliy (dengan akal
fikiran) tanpa terikat dengan hukum furu' yang telah ada dari madzhab manapun,
sesuai atau tidak sesuai kaidah dengan hukum-hukum furu' tersebut tidak menjadi
persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari golongan Mu'tazilah,
Malikiyah, dan Syafi'iyah.
Tambahan: furu’ dalam
bahasa arab berarti cabang ,dahan,ranting dan bagian. Dalam ilmu ushul fiqh
furu’ diartikan hukum keagamaan yang tidak pokok, yang berdasarkan hukum dasar.
Dikaitkan dengan persoalan keagamaan,
masalah furu’ berarti persoalan-persoalan rincian dari masalah pokok keagamaan.
Misalnya zakat adalah masalah pokok, tetapi masalah-masalah apa-apa yang
diwajibkan zakatkan adalah hal-hal yang sudah termasuk kedalam furu’. Sholat
adalah masalah pokok, tetapi rincian pelaksanaanya ,waktu, syarat, rukunya
adalah masalah furu’.
Wilayah furu’ adalah wilayah ijtihad para
ulama, karena tidak terperincinya suatu hukumatau ketentuan dari al-qur’an
tentang status hukumsuatu amaliyah. Pada umumnya, teks al-qur’an dan hadits hanya
memberikan masalah-masalah pokok yang kemudian di kembangkan oleh para
ulamadalam koridor furu’iyah.
Dalamproses ijtihad,ulama
menggunakanbeberapa metode untukmendapatkan suatu hukumterhadap masalah
furu’.beberapaulamamenggunakan metode analogi (qias) terhadap suatu yang dapat
dikiaskan ,ada pula yang menggunakan istihsan,al-mashalah al mursalah,istishab
atau sadd az-zara’i.
2. Aliran Hanafiyah.
Para ulama
dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu' yang
diterima dari imam-imam (madzhab) mereka; yakni dalam menetapkan kaidah selalu
berdasarkan kepada hukum-hukum furu ' yang diterima dari imam-imam mereka. Jika
terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu' yang diterima dari
imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan dengan
hukum-hukum furu' tersebut. Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga
persesuaian antara kaidah dengan hukum furu' yang diterima dari imam-imam
mereka.
Di
antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu : kitab yang disusun
oleh Abu Bakar Ahmad bin' Aliy yang terkenal dengan sebutan Al Jashshash (wafat
pada tahun 380 Hijriyah), kitab yang disusun oleh Abu Zaid ' Ubaidillah bin
'Umar Al Qadliy Ad Dabusiy (wafat pada tahun 430 Hijriyah), kitab yang disusun
oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As Sarkhasiy (wafat pada tahun 483
Hijriyah). Kitab yang disebut terakhir ini diberi penjelasan oleh Alauddin
Abdul 'Aziz bin Ahmad Al Bukhariy (wafat pada tahun 730 Hijriyah) dalam
kitabnya yang diberi nama Kasyful Asrar .Dan juga kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam
aliran ini ialah kitab yang disusun oleh Hafidhuddin 'Abdullah bin Ahmad An
Nasafiy (wafat pada tahun 790 Hijriyah) yang berjudul 'Al Manar, dan syarahnya
yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.
BAB III
PENUTUP
kesimpulan
Secara
historis, hukum islam telah menjadi 2 aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad
SAW. Dua aliran tersebut adalah Madrasat Al-Madinah dan Madrasat
Al-Baghdad/Madrasat Al-Hadits dan Madrasat Al-Ra’y. Aliran Madinah terbentuk
karena sebagian sahabat tinggal di Madinah, aliran Baghdad/kuffah juga
terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut.
Aliran
hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya
beberapa aliran diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah,
akan tetapi yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah bahwa
buku-buku sejarah hukum islam cenderung memunculkan aliran-aliran hukum yang
berafiliasi dengan aliran sunni, sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung mengabaikan pendapat khawarij dan
syi’ah dalam bidang hukum islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar