Kamis, 21 April 2016

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR



BAB 1
PEDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah kaidah – kaidah tafsir terdiri dari dua kata pokok, yaitu kaidah yang pada bab ini disebutkan dalam bentuk jamak dan arti banyak, dan tafsir. Setiap kata mempunyai maknanya tersendiri yang mesti dimengerti lebih dahulu. Karena itu, sebelum membicarakan term ini dan segala persoalan yang terkait, perlu dipahami lebih dulu makna dari tiap kata yang tercakup didalamnya. Pengertian terhadap setiap kata itu dengan benar diharapkan dapat membawa pada arti term tersebut secara benar pula.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian kaidah, tafsir, dan kaidah tafsir?
2.      Apa macam-macam kaidah tafsir?
3.      Apa kaidah untuk mafassir?
4.      Apa tujuan dari kaidah tafsir?
5.      Apa urgensi mengetahuinya?
C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian kaidah, tafsir, dan kaidah tafsir
2.      Untuk mengetahui macam-macam kaidah tafsir
3.      Untuk mengetahui kaidah mufassir
4.      Untuk mengetahui tujuan dari kaidah tafsir
5.      Untuk mengetahui urgensinya







BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian
a.       Kaidah
Secara etimologis, dalam kamus besar bahasa indonesia diungkapkan bahwa makna dari kaidah adalah rumusan asas – asas yang menjadi hukum, aturan yang tentu, patokan-patokan, atau dalil. Makna – makna yang demikian dapat diterapkan dalam kajian yang dibahas pada topik ini. Pada awalnya kaidah merupakan kata serapan dari bahasa arab qâidah yang bentuk jamaknya qawâid. Dalam kitab al – Munjid fi al – Lugah wa al – A’lam, kata ini diartikan sebagai undang – undang, aturan – aturan, dasar ataau pondasi. Sedangkan dalam kitab al –Kulliyat, kata qâidah diartikan sebagai asal dan asas atau dasar (pondasi) dintara segala sesuatu yang dibangun diatasnya. Qâidah atau qâwaid dengan makna yang demikian ini (dasar/pondasi) disebutkan beberapa kali dalam al – qur’an, diantaranya adalah firman allah yang berbunyi
øŒÎ)ur ßìsùötƒ ÞO¿Ïdºtö/Î) yÏã#uqs)ø9$# z`ÏB ÏMøt7ø9$# ã@ŠÏè»yJóÎ)ur $uZ­/u ö@¬7s)s? !$¨YÏB ( y7¨RÎ) |MRr& ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇÊËÐÈ
Artinya:  Dan (ingatlah) ketika ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdo’a), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang  Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (al – Baqarah [2]:127).
Pada ayat lain juga disebutkan  sebagai berikut
ôs% tx6tB šúïÏ%©!$# `ÏB óOÎgÏ=ö7s% tAr'sù ª!$# OßguZ»uŠø^ç/ šÆÏiB ÏÏã#uqs)ø9$# §ysù ãNÍköŽn=tã ß#ø)¡¡9$# `ÏB óOÎgÏ%öqsù ÞOßg9s?r&ur Ü>#xyèø9$# ô`ÏB ß]øym Ÿw tbrããèô±o ÇËÏÈ
artinya : “ Sesungguhnya orang –orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, Maka Allah menghancurkan rumah – rumah mereka dari pondasinya, lalu atap (rumah itu)jatuh menmpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.(an – Nahl [16]: 26).
Dari makna – makna, baik yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia maupun yang berbahasa Arab, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan qâidah adalah rumusan yang dijadikan pedoman atau patokan patokan dari ilmu atau persoalan tertentu. Sedangkan secara Terminologi, kaidah diartikan sebagai hukum global yang darinya dirumuskan hukum – hukum rinciannya.[1] Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa makna kaidah adalah patokan yang disetujui bersama oleh kelompok manusia sebagai otoritatif.[2]
Sedangkan Luwis Ma’luf, ahli bahasa  yang menulis kitab al- Munjid, menyatakan bahwa secara istilah kaidah diartikan sebagai dasar atau aturan global yang dijadikan sebagai dasar untuk penetapan setiap rinciannya.
Dari pengertian yang diungkapkan para pakar tersebut dapat ditetapkan bahwa  dengan yang dimaksud kaidah – kaidah adalah patokan – patokan atau pedoman – pedoman global yang rumusannya dapat diterapkan untuk hukum atau ketetapan bagi rinciannya, yaitu redaksi yang memiliki kesamaan pola induknya.
b.      Tafsir
Kata tafsir merupakan kata serapan dari bahasa Arab tafsir, yang secara bahasa diartikan sebagai pengungkapan sesuatu (agar dimengerti maksudnya), penjelasan atau keterangannya.[3] Dalam al-Qur’an kata ini hanya disebut satu kali , yaitu sebagai berikut:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ  


Artinya: Dan tidaklah orang – orang kafir itu datang kepadamu (membawa) yang  ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (al – furqan [25]:33).
Ada pula yang mengatakan bahwa tafsir berasal dari kata tafsirah, yang artinya alat yang dipergunakan dokter untuk mengetahui penyakit pasiennya. Pendapat yang sedemikian ini didasarkan pada adanya kesamaan fungsi dari keduanya. Kalau tafsirah merupakan alat untuk mengetahui penyakit yang diderita pasien, maka tafsir adalah sarana yang dipergunakan untuk mengetahui makna kandungan sesuatu, khususnya makna al-Qur’an.
Sementara itu,  secara istilah, banyak ditemukan rumusan pengertian yang di ungkapkan para pemerhati tafsir. Secara umum, definisi – definisi yang mereka kemukakan tidak jauh berbeda maknanya. Berikut di ketengahkan salah satu yang dipandang ringkas, tetapi dinilai dapat mewakili pengertian tafsir secara terminologis yaitu : “ Tafsir adalah pengetahuan untuk memahami al – Qur’an dari segala seginya sesuai dengan kemampuan akal manusia seperti yang dimaksud Allah.[4]
c.       Kaidah Tafsir
Definisi tentang kaidah tafsir ternyata tidak banyak diungkapkan oleh para ulama tafsir. Buku –buku yang membahasnya sebagai bagiaan dari topik pembicaraan, seperti Mahabis fi ulum al- Qur’an karya as- Sayuti,atau al- Burhan fi Ulum al – Qur’an karya al-Zarkasyi, tidak menguraikan definisinya secara khusus. Bahkan, karya yang fokus bahasannya khusus tentang kaidah tafsir juga jarang megungkapkannya. Sebagai contoh, buku al –Qawa’id al –Hissan li al – Tafsir al – Qur’an karya ‘Abdurrahman bin Sa’di. Dalam bahasannya tidak disinggung tentang Qawa’id al – Tafsir, padahal karya ini menguraikan beragam kaidah yang berkaitan dengan penafsiran al – Qur’an. Demikian pula buku Ushul al – Tafsir wa Qawa’iduhu karya ‘Abdurrahman al – ‘Akk. Dalam karya ini juga tidak disinggung penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kaidah tafsir. Namun, tidak semua karya tentang ilmu ini meniadakan penjelasan tentang maknanya. Adapula beberapa tulisan yang mencantumkan terlebih dulu mknanya. Salah satu karya yang membahas masalah pengertiannya adalah buku Qawa’id al – Tafsir, Jam’an wa Dirasatan, yang ditulis oleh Khalid bin ‘Usman as – Sabt. Dalam buku ini diungkapkan bahwa yang dimaksud dengan qawa’id al – Tafsir (kaidah – kaidah tafsir) adalah “hukum – hukum atau aturan – aturan global yang membawa pada istinbat (pengambilan kesimpulan) makna – makna al – Qur’an dan pengetahuan tentang pengambilan manfaat darinya”.
Sejauh ini, hanya definisi ini yang ditemukan dalam karya tentang Qawa’id al – Tafsir. Oleh karena itu, rumusan pengertian ini yang akan dipergunakan dalam makalah ini. Dengan demikian yang dimaksud dengan kaidah – kaidah tafsir adalah “hukum – hukum atau aturan – aturan global  yang membawa pada pengambilan kesimpulan  makna – makna al – Qur’an dan pengetahuan tentang pengambilan manfaat darinya”.[5]
2.      Macam-Macam Kaidah Tafsir
Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran al-qur’an sangat beragam berdasarkan perkembangan tersebut, jika dipetakan kaidah-kaidah tafsir dapat dikelompokan menjadi kaidah dasar, umum, dan khusus.
a.    Kaidah dasar tafsir
Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-qur’an yang meliputi al-qur’an, hadits, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-qur’an dengan meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-qr’an tentang suatu pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain. Kemudian mufasir juga harus memperhatikan hadits-hadits nabi bila mendapatkan hadits shaheh, iya harus menafsirkan ayat berdasarkan hadits tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadits tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat Nabi untuk menfsirkan ayat al-qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan ke hati-hatian dan seleksi yang teliti. Demikian juga dengan perkataan tabi’in. Hanya saja keberadaan perkataan tabi’in dalam menafsirkan al-qur’an ini diperselisihkan, ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat Nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir di al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabi’in.
b.    Kaidah umum tafsir
Kaidah umum yang dimaksudkan disini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu bahasa arab, nahu, syaraf, ihsytiqaq, balaghah ( ma’ani, bayan, dan badi’ ), ushul fiqh, dan ilmu qira’at. Ilmu bahasa ( linguistik ) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks al-qur’an. Melalui ilmu nahu (tata bahasa ), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharaf ( konjugasi ), seorang mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata. Sementara kaidah isytiqaq (derivasikata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufassir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqh dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumasan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qira’at digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara malafalkan al-qur’an.
c.    Kaidah khusus tafsir
Kaidah khusus penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif dan wordview yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran islam. Dalam hal ini warna tafsir menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuan masing-masing. Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-qur’an diantaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf. Filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing persepektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalya, adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan as’yariah dan muktazilah dalam perspektif teologi. Atau antara tafsir syafi’iah dan hanafiah dalam perspektif fiqh juga diantara tafsir gazalian dan rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran memiliki perspektif keilmuan tersendiri berdasarkan para digmanya masing-masing.
Munculnya ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh pada corok tafsir umat islam. Adanya perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan tafsir modrn. Arus perubahan dan dperkembangan ini berjalan sedemikian cepat dan bersifat global. Akibatnya pandangan umat islam terhadap realiitaspun berubah, pemahaman terhadap informasi yang bersumber dari al-qur’an pun mengalami perubahan. Misalnya, ketika ilmu pengetahuan dapat mendeteksi jenis janin bayi ketika masih dalam perut ibunya, maka pemahaman terhadap tex “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)”. (Qs. 13:8). Tidak lagi ditafsirkan mengetahui jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Melainkan mengetahui dalam perspektif yang lain, seperti masa depan, jiwa, bakat dan perincian yang lain. Rasionalitas modrn seperti inilah yang menjadi ciri khusus tafsir modrn. Para mufasir modrn melakukan penafsiran dengan menggunakan kaca mata yang bisa dikonsumsi masyarakat saintifik salah satu cirinya adalah upaya demitologisasi terhadap berbagai pemikiran yang tidak rasional yang dilakukan mufasir sebelumnya. 
3.      Kaidah Untuk  Mufasir
Dalam upaya menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara baik, diperlukan syarat-syarat khusus bagi seorang mufassir, baik yang menyangkut kepribadian, kemampuan akademis maupun kemampuan teknis operasional penafsiran, seperti syarat-syarat :
a.    Seorang mufassir harus memiliki kepribadian yang mulia, memiliki dasar- dasar keimanan yang mantap dan jiwa yang bersih, Al-Qur’an hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam membaca baik di dalam maupun di luar salat, selain itu harus disertai pula ketaqwaan kepada Allah SWT. karena Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.
b.    Seorang mufassir harus mengetahui dan menguasai bahasa Arab, dan cabang- cabangnya, Ali Hasan Al-Aridl lebih terperinci lagi dalam menyikapi kebutuhan seorang mufassir dalam berbahasa Arab diantaranya ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, ilmu Ma’ani, ilmu Badi’ dan ilmu Qiraat.
c.    Seorang mufassir harus pula mengetahui pokok-pokok ulum Al-Qur’an, seperti asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, ilmu makki dan madani.
d.   Seorang mufassir juga perlu menguasai ilmu kalam ( teologi ),ushul Fiqih dan sebagainya. Melalui ilmu-ilmu itu seorang mufassir dapat menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara maksimal.
e.    Tidak kalah pentingnya pula seoorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hendaknya mengambil rujukan atau referensi dari tafsir-tafsir yang mu’tabar, untuk dianalisis secara kritis dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainnya. Dengan langkah terakhir ini diharapkan dalam penafsiran Al-Qur’an penuh ketelitian yang mendalam untuk menghasilkan tafsir yang komprehensif.[10]
M.Quraish Shihab salah satu ahli tafsir Indonesia berpendapat, bahwa untuk memenuhi persyaratan sebagai mufasir, khusus bagi penafsir yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak persyaratan. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)    Pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya
b)   Pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh
c)    Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan,dan
d)   Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. [11]
Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas tidak dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an. Faktor – faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah :
a)      Subyektifitas mufasir ;
b)      Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah ;
c)      Kedangkalan dalam menerapkan ilmu-ilmu alat ;
d)     Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat ;
e)      Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun     kondisi sosial masyarakat.
f)       Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan
4.      Tujuan
Para ulama sepakat untuk menetapkan bahwa tujuan utama dari kaidah – kaidah tafsir adalah untuk memberikan pedoman bagi mufassir agar tidak menyimpang dari kebenaran ketika menafsirkan ayat – ayat al – Qur’an. Pemahaman makna dan isi al – Qur’an dengan benar menjadi penting, karena dengannya ajaran – ajaran yang terkandung dalam wahyu Ilahi ini dapat dimengerti selanjutnya dilaksanakan dalam perbuatan. Tanpa bantuan kaidah – kaidah tafsir sebagai pedoman, ada kemungkinan seseorang tidak dapat mengetahui maksud  dari tuntutan – tuntutan Allah dengan benar. Bila demikian, ia tentu tidak akan mendapat petunjuk dari Kitab Suci ini. Situasi yang demikian akan membuat al – Qur’an menjadi tidak bermakna bila dikaitkan dengan fungsinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan linnas). Selain itu, orang yan terus berupaya untuk memahaminya tanpa bantuan kaidah –kaidah tafsir tersebut sangat mungkin akan terperosok dalam kesalahan ketika memahami ayat – ayat al – Qur’an. Akibatnya, ketika melaksanakan ajaran – ajarannya, bisa jadi ia akan melakukan kesalahan – kesalahan.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa al – Qur’an merupakan wahyu ilahi yang diturunkan dalam bahasa Arab. Ayat –ayatnya sebagian besar masih mencangkup makna yang global, dan sering kali masih berupa isyarat –isyarat yang mesti di urai atau dianalisis lebih lanjut. Dengan keadaannya yang demikian, untuk memahaminya tentulah diperlukan seperangkat pengetahuan yang dapat dipergunakan untuk membantu menguraikan pengertian dan maknanya. Diantara perangkat yang mesti dikuasai oleh mereka yang ingin menafsirkan atau memahami al- Qur’an adalah kaidah – kaidah penafsirannya.
Kaidah – kaidah tafsir yang terdiri dari seperangkat patokan atau pedoman yang bersifat global merupakan ketetapan yang di simpulkan dari beberapa contoh redaksi ayat, yang kemudian dirumuskan sebagai pedoman pokok bagi ayat – ayat lain yang senada. Rumusan ini, dengan demikian, dapat diterapkan pada ayat – aya lain yang memiliki susunan redaksi untuk bentuk kata yang serupa. Upaya demikian dilakukan untuk menghasilkan pemahaman terhadap ayat – ayat al – Qur’an yang dikaji makna dan kandungannya.
5.      Urgensi Mengetahuinya
Pada awalnya, ilmu itu merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang sifatnya global. Artinya, ilmu tersebut masih bersifat meyeluruh dan mencangkup semua aspek yang berkaitan dengannya. Dengan perkembangn zaman dan semakin majunya penalaran, ilmu pengetahuan juga berkembang pesat.spesialisasi dalam ilmu pengetahuan mulai muncul, dengan tujuan agar pengetahuan tentang suatu masalah dapat dikaji dan dikembangkan semakin dalam. Pada masa kini, ketika seseorang berbicara mengenai suatu cabang ilmu, pasti akan dilanjutkan pada sesuatu yang menjadi kekhususannya. Miasalnya, seprang dokter yang menguasai ilmu tentang kesehatan dan penyembuhan penyakit, pasti selanjutnya akan dikaitkan dengan spesialisasi yang dikuasainya. Apakah ia spesialis dalam penyakit mata, jantung, paru – paru, kandungan, dan lain sebagainya. Demikian pula dengan disiplin ilmu lain, seperti hukum tata negara, hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain sebagainya. Dengan perkembangan demikian, para cendikiawan selanjutnya disibukkan dengan upaya untuk merangkum keragaman spesialisasi ini dalam tatanan tertentu yang mencangkup semua pengetahuan yang terkait. Tujuan yang ingin dicapai dengan upaya ini adalah untuk memudahkan dan mempelajari ilmu tersebut. Selain itu, upaya ini juga ditujukan untuk mengellompokkan bidang ilmu yang semakin beragam, dan menolong mereka yang ingin mempelajarinya. Dengan adanya aturan atau tatanan ini,diharapkan mereka yang ingin mendalaminya akan dapat menghemat waktu dan tenaga dalam upaya yang mereka lakukan. Uraian tersebut mengisyaratkan bahwa pembuatan aturan – aturan pokok atau kaidah – kaidah yang berkaitan dengan suatu ilmu pengetahuan menjadi sangat penting. Dengannya, seseorang akan sampai apada penguasaan ilmu dengan total. Sebaliknya, tanpa pengetahuan tentang kaidah – kaidah yang terkait dengannya, mustahil seseorang dapat sampai pada penguasaan dan pemaahaman yang baik terhadap pengetahuan yang di pelajarinya. Ibnu Taimiyyah (w. 621 H.) dalam Majmu’al – Fatawa  mengungkapkan betapa pentingnya kaidah – kaidah yang mencangkup segala hal yang terkait dengan suatu pengetahuan. Sejalan dengan alur pemikiran demikian, beliau mengatakan bahwa mestinya manusia memahami dasar – dasar pokok suatu pengetahuan sebagai induk dari rincian atau keragamannya. Dengan pemahaman demikian, niscaya mereka akan terhindar dari ketidak tahuan tentangrincisn stsu keragaman tentang suatu pengetahuan,dan pemahaman terhadap induk dari berbagai pengetahuan tersebut.[6]
Posisi dari dasar atau induk suatu pengetahuan dan kaidah – kaidahnya bagaikan pondasi dari suatu bangunan atau akar bagi tumbuhan. Bila pondasi ini kuat, maka bangunan itu akan menjadi kukuh, kuat, dan tidak mudah goyah atau roboh ketika diterpa angin. Sebaliknya, bila pondasi atau akar penopang tanaman itu rapuh, maka bangunan atau pohon itu dengan mudah akan roboh bila tertiup angin atau terjadi gempa.dari ungkapan ini dapat diketahui betapa pentingnya keberadaan kaidah – kaidah dari suatu pengetahuan terhadap ilmu – ilmu sejenis yang merupakan bagian – bagiannya.
Dengan uraian tersebut, jelaslah urgensi dari kaidah – kaidah tafsir ini bagi penafsiran al – Qur’an. Selain itu pentingnya pengetahuan ini juga terkait dengan objek yang menjadi bahasannya. Sebagaimana yang telah di singgung diatas, penting atau tidaknya sesuatu itu tidak terlepas dari tiga hal, yaitu: 1) objek yang menjadi utama kajiannya; 2) maksud yang ingin dicapai; 3) besarnya kebutuhan pada pengetahuan tersebut. Dari paparan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa urgensi dari pengetahuan tentang kaidah – kaidah tafsir memang sangat penting.













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Penerapan kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir. Dari berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah umum dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya masing-masing
Pada era kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan intelektualitas para pemikir muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas global. Para pemikir muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing.







DAFTAR PUSTAKA
[1] Khalid ‘Usman as-Sabti, Qawaii’id at-Tafsir: Jam ‘an wa Diriisatan, Jilid 1, (Kairo: Dar Ibn ‘Afran 1421 H) h. 23
[1] Hasan shadily (ed.), Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1980),h. 1619.
[1] Ibid.,h.583.
[1] Bandingkan dengan definisi yang dikemukakan Husein al – Zahabi dalam al-Tafsir wa al – Mufassirin, Jilid 1, (Kairo: Maktabah al-Wahbah,1409 H.), H.15, dan yang ditulis al- Zarkani dalam Manahil al- ‘irfan fi ulum al – Qur’an, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr,1988, H. 3.)
Khalin bin ‘Usman al – Sabti,Qawa’id al –Tafsir, Jam ‘an wa Dirasatan, (Kairo:Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.), h.30.


[1] Khalid ‘Usman as-Sabti, Qawaii’id at-Tafsir: Jam ‘an wa Diriisatan, Jilid 1, (Kairo: Dar Ibn ‘Afran 1421 H) h. 23
[2] Hasan shadily (ed.), Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1980),h. 1619.
[3] Ibid.,h.583.
[4] Bandingkan dengan definisi yang dikemukakan Husein al – Zahabi dalam al-Tafsir wa al – Mufassirin, Jilid 1, (Kairo: Maktabah al-Wahbah,1409 H.), H.15, dan yang ditulis al- Zarkani dalam Manahil al- ‘irfan fi ulum al – Qur’an, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr,1988, H. 3.)
[5] Khalin bin ‘Usman al – Sabti,Qawa’id al –Tafsir, Jam ‘an wa Dirasatan, (Kairo:Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.), h.30.
[6] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al – Fatawa, jilid 19, (Riyad,tt),h. 203.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar