BAB 1
PEDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Istilah
kaidah – kaidah tafsir terdiri dari dua kata pokok, yaitu kaidah yang pada bab
ini disebutkan dalam bentuk jamak dan arti banyak, dan tafsir. Setiap kata
mempunyai maknanya tersendiri yang mesti dimengerti lebih dahulu. Karena itu,
sebelum membicarakan term ini dan segala persoalan yang terkait, perlu dipahami
lebih dulu makna dari tiap kata yang tercakup didalamnya. Pengertian terhadap
setiap kata itu dengan benar diharapkan dapat membawa pada arti term tersebut secara
benar pula.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian kaidah, tafsir, dan
kaidah tafsir?
2. Apa macam-macam kaidah tafsir?
3. Apa kaidah untuk mafassir?
4. Apa
tujuan dari kaidah tafsir?
5. Apa
urgensi mengetahuinya?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pengertian kaidah, tafsir, dan
kaidah tafsir
2. Untuk mengetahui macam-macam kaidah tafsir
3. Untuk mengetahui kaidah mufassir
4. Untuk
mengetahui tujuan dari kaidah tafsir
5. Untuk
mengetahui urgensinya
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
a. Kaidah
Secara etimologis, dalam kamus
besar bahasa indonesia diungkapkan bahwa makna dari kaidah adalah rumusan asas
– asas yang menjadi hukum, aturan yang tentu, patokan-patokan, atau dalil.
Makna – makna yang demikian dapat diterapkan dalam kajian yang dibahas pada
topik ini. Pada awalnya kaidah merupakan kata serapan dari bahasa arab qâidah
yang bentuk jamaknya qawâid. Dalam
kitab al – Munjid fi al – Lugah wa al –
A’lam, kata ini diartikan sebagai undang – undang, aturan – aturan, dasar
ataau pondasi. Sedangkan dalam kitab al
–Kulliyat, kata qâidah
diartikan sebagai asal dan asas atau dasar (pondasi) dintara segala sesuatu
yang dibangun diatasnya. Qâidah
atau qâwaid
dengan makna yang demikian ini (dasar/pondasi) disebutkan beberapa kali dalam al
– qur’an, diantaranya adalah firman allah yang berbunyi
øÎ)ur ßìsùöt ÞO¿Ïdºtö/Î) yÏã#uqs)ø9$# z`ÏB ÏMøt7ø9$# ã@Ïè»yJóÎ)ur $uZ/u ö@¬7s)s? !$¨YÏB ( y7¨RÎ) |MRr& ßìÏJ¡¡9$# ÞOÎ=yèø9$# ÇÊËÐÈ
Artinya: “ Dan (ingatlah) ketika ibrahim meninggikan
pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdo’a), “Ya Tuhan kami, terimalah
(amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang
Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (al – Baqarah [2]:127).
Pada ayat lain
juga disebutkan sebagai berikut
ôs% tx6tB úïÏ%©!$# `ÏB óOÎgÏ=ö7s% tAr'sù ª!$# OßguZ»uø^ç/ ÆÏiB ÏÏã#uqs)ø9$# §ysù ãNÍkön=tã ß#ø)¡¡9$# `ÏB óOÎgÏ%öqsù ÞOßg9s?r&ur Ü>#xyèø9$# ô`ÏB ß]øym w tbrããèô±o ÇËÏÈ
artinya : “ Sesungguhnya
orang –orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, Maka Allah
menghancurkan rumah – rumah mereka dari pondasinya, lalu atap (rumah itu)jatuh
menmpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang
tidak mereka sadari.(an – Nahl [16]: 26).
Dari makna – makna, baik yang
terdapat dalam kamus bahasa Indonesia maupun yang berbahasa Arab, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan qâidah adalah rumusan
yang dijadikan pedoman atau patokan patokan dari ilmu atau persoalan tertentu. Sedangkan
secara Terminologi, kaidah diartikan sebagai hukum global yang darinya
dirumuskan hukum – hukum rinciannya.[1]
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan
bahwa makna kaidah adalah patokan yang disetujui bersama oleh kelompok manusia
sebagai otoritatif.[2]
Sedangkan Luwis Ma’luf, ahli bahasa yang menulis kitab al- Munjid, menyatakan
bahwa secara istilah kaidah diartikan sebagai dasar atau aturan global yang
dijadikan sebagai dasar untuk penetapan setiap rinciannya.
Dari pengertian yang diungkapkan
para pakar tersebut dapat ditetapkan bahwa
dengan yang dimaksud kaidah – kaidah adalah patokan – patokan atau
pedoman – pedoman global yang rumusannya dapat diterapkan untuk hukum atau
ketetapan bagi rinciannya, yaitu redaksi yang memiliki kesamaan pola induknya.
b. Tafsir
Kata tafsir merupakan kata serapan dari
bahasa Arab tafsir, yang secara
bahasa diartikan sebagai pengungkapan sesuatu (agar dimengerti maksudnya),
penjelasan atau keterangannya.[3]
Dalam al-Qur’an kata ini hanya disebut satu kali , yaitu sebagai berikut:
wur y7tRqè?ù't @@sVyJÎ/ wÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·Å¡øÿs? ÇÌÌÈ
Artinya: Dan tidaklah
orang – orang kafir itu datang kepadamu (membawa) yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu
suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (al – furqan [25]:33).
Ada pula yang mengatakan bahwa tafsir
berasal dari kata tafsirah, yang
artinya alat yang dipergunakan dokter untuk mengetahui penyakit pasiennya.
Pendapat yang sedemikian ini didasarkan pada adanya kesamaan fungsi dari
keduanya. Kalau tafsirah merupakan
alat untuk mengetahui penyakit yang diderita pasien, maka tafsir adalah sarana yang dipergunakan untuk mengetahui makna
kandungan sesuatu, khususnya makna al-Qur’an.
Sementara itu, secara istilah, banyak ditemukan rumusan
pengertian yang di ungkapkan para pemerhati tafsir. Secara umum, definisi –
definisi yang mereka kemukakan tidak jauh berbeda maknanya. Berikut di
ketengahkan salah satu yang dipandang ringkas, tetapi dinilai dapat mewakili
pengertian tafsir secara terminologis yaitu : “ Tafsir adalah pengetahuan untuk
memahami al – Qur’an dari segala seginya sesuai dengan kemampuan akal manusia
seperti yang dimaksud Allah.[4]
c. Kaidah
Tafsir
Definisi tentang kaidah tafsir ternyata
tidak banyak diungkapkan oleh para ulama tafsir. Buku –buku yang membahasnya
sebagai bagiaan dari topik pembicaraan, seperti Mahabis fi ulum al- Qur’an karya as- Sayuti,atau al- Burhan fi Ulum al – Qur’an karya al-Zarkasyi,
tidak menguraikan definisinya secara khusus. Bahkan, karya yang fokus
bahasannya khusus tentang kaidah tafsir juga jarang megungkapkannya. Sebagai
contoh, buku al –Qawa’id al –Hissan li al
– Tafsir al – Qur’an karya ‘Abdurrahman bin Sa’di. Dalam bahasannya tidak
disinggung tentang Qawa’id al – Tafsir, padahal
karya ini menguraikan beragam kaidah yang berkaitan dengan penafsiran al –
Qur’an. Demikian pula buku Ushul al –
Tafsir wa Qawa’iduhu karya ‘Abdurrahman al – ‘Akk. Dalam karya ini juga
tidak disinggung penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kaidah tafsir.
Namun, tidak semua karya tentang ilmu ini meniadakan penjelasan tentang
maknanya. Adapula beberapa tulisan yang mencantumkan terlebih dulu mknanya.
Salah satu karya yang membahas masalah pengertiannya adalah buku Qawa’id al – Tafsir, Jam’an wa Dirasatan, yang ditulis oleh
Khalid bin ‘Usman as – Sabt. Dalam buku ini diungkapkan bahwa yang dimaksud
dengan qawa’id al – Tafsir (kaidah –
kaidah tafsir) adalah “hukum – hukum atau aturan – aturan global yang membawa
pada istinbat (pengambilan
kesimpulan) makna – makna al – Qur’an dan pengetahuan tentang pengambilan
manfaat darinya”.
Sejauh ini, hanya definisi ini yang
ditemukan dalam karya tentang Qawa’id al
– Tafsir. Oleh karena itu,
rumusan pengertian ini yang akan dipergunakan dalam makalah ini. Dengan
demikian yang dimaksud dengan kaidah – kaidah tafsir adalah “hukum – hukum atau
aturan – aturan global yang membawa pada
pengambilan kesimpulan makna – makna al
– Qur’an dan pengetahuan tentang pengambilan manfaat darinya”.[5]
2.
Macam-Macam
Kaidah Tafsir
Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah
penafsiran al-qur’an sangat beragam berdasarkan perkembangan tersebut, jika
dipetakan kaidah-kaidah tafsir dapat dikelompokan menjadi kaidah dasar, umum,
dan khusus.
a.
Kaidah dasar tafsir
Kaidah
dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-qur’an yang
meliputi al-qur’an, hadits, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam
kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-qur’an
dengan meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-qr’an tentang
suatu pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan
ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika
pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat
lain. Kemudian mufasir juga harus memperhatikan hadits-hadits nabi bila
mendapatkan hadits shaheh, iya harus menafsirkan ayat berdasarkan hadits
tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri,
dengan meninggalkan hadits tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan
sahabat Nabi untuk menfsirkan ayat al-qur’an, ia harus menggunakan penjelasan
tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang
tidak benar dari sahabat, diperlukan ke hati-hatian dan seleksi yang teliti.
Demikian juga dengan perkataan tabi’in. Hanya saja keberadaan perkataan tabi’in
dalam menafsirkan al-qur’an ini diperselisihkan, ada yang berpendapat termasuk
tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat Nabi. Namun
ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir di al-ra’yi, seperti tafsir para
mufasir lainnya setelah tabi’in.
b.
Kaidah umum tafsir
Kaidah
umum yang dimaksudkan disini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-qur’an. Ilmu-ilmu tersebut
meliputi ilmu bahasa arab, nahu, syaraf, ihsytiqaq, balaghah ( ma’ani, bayan,
dan badi’ ), ushul fiqh, dan ilmu qira’at. Ilmu bahasa ( linguistik ) berfungsi
untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks al-qur’an. Melalui ilmu nahu (tata
bahasa ), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah
seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharaf ( konjugasi ), seorang
mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata. Sementara
kaidah isytiqaq (derivasikata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau
kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda,
sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda. Ilmu balaghah berperan dalam
membimbing mufassir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang
dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani),
perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan
(badi’). Adapun ilmu ushul fiqh dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara
pengambilan dan perumasan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qira’at digunakan
oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara malafalkan al-qur’an.
c.
Kaidah khusus
tafsir
Kaidah
khusus penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif dan
wordview yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran islam. Dalam hal ini warna
tafsir menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuan masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-qur’an
diantaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf. Filsafat dan ilmu pengetahuan
modern. Pada masing-masing persepektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai
aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalya, adanya perbedaan kaidah antara
tafsir yang dikembangkan as’yariah dan muktazilah dalam perspektif teologi.
Atau antara tafsir syafi’iah dan hanafiah dalam perspektif fiqh juga diantara
tafsir gazalian dan rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran
memiliki perspektif keilmuan tersendiri berdasarkan para digmanya
masing-masing.
Munculnya
ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh pada corok tafsir umat islam. Adanya
perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan tafsir
modrn. Arus perubahan dan dperkembangan ini berjalan sedemikian cepat dan
bersifat global. Akibatnya pandangan umat islam terhadap realiitaspun berubah,
pemahaman terhadap informasi yang bersumber dari al-qur’an pun mengalami
perubahan. Misalnya, ketika ilmu pengetahuan dapat mendeteksi jenis janin bayi
ketika masih dalam perut ibunya, maka pemahaman terhadap tex “Allah mengetahui
apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)”. (Qs. 13:8). Tidak lagi
ditafsirkan mengetahui jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Melainkan
mengetahui dalam perspektif yang lain, seperti masa depan, jiwa, bakat dan
perincian yang lain. Rasionalitas modrn seperti inilah yang menjadi ciri khusus
tafsir modrn. Para mufasir modrn melakukan penafsiran dengan menggunakan kaca
mata yang bisa dikonsumsi masyarakat saintifik salah satu cirinya adalah upaya
demitologisasi terhadap berbagai pemikiran yang tidak rasional yang dilakukan
mufasir sebelumnya.
3.
Kaidah
Untuk Mufasir
Dalam upaya menafsirkan dan memahami
ayat-ayat Al-Qur’an secara baik, diperlukan syarat-syarat khusus bagi seorang
mufassir, baik yang menyangkut kepribadian, kemampuan akademis maupun kemampuan
teknis operasional penafsiran, seperti syarat-syarat :
a.
Seorang mufassir
harus memiliki kepribadian yang mulia, memiliki dasar- dasar keimanan yang
mantap dan jiwa yang bersih, Al-Qur’an hanya dapat dipahami oleh orang-orang
yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam membaca baik di dalam
maupun di luar salat, selain itu harus disertai pula ketaqwaan kepada Allah
SWT. karena Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.
b.
Seorang mufassir
harus mengetahui dan menguasai bahasa Arab, dan cabang- cabangnya, Ali Hasan
Al-Aridl lebih terperinci lagi dalam menyikapi kebutuhan seorang mufassir dalam
berbahasa Arab diantaranya ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, ilmu Ma’ani, ilmu Badi’ dan
ilmu Qiraat.
c.
Seorang mufassir harus
pula mengetahui pokok-pokok ulum Al-Qur’an, seperti asbabun nuzul, nasikh dan
mansukh, muhkam dan mutasyabihat, ilmu makki dan madani.
d.
Seorang mufassir
juga perlu menguasai ilmu kalam ( teologi ),ushul Fiqih dan sebagainya. Melalui
ilmu-ilmu itu seorang mufassir dapat menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat
Al-Qur’an secara maksimal.
e.
Tidak kalah
pentingnya pula seoorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
hendaknya mengambil rujukan atau referensi dari tafsir-tafsir yang mu’tabar,
untuk dianalisis secara kritis dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainnya.
Dengan langkah terakhir ini diharapkan dalam penafsiran Al-Qur’an penuh
ketelitian yang mendalam untuk menghasilkan tafsir yang komprehensif.[10]
M.Quraish Shihab salah satu ahli tafsir
Indonesia berpendapat, bahwa untuk memenuhi persyaratan sebagai mufasir, khusus
bagi penafsir yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak persyaratan.
Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)
Pengetahuan tentang
bahasa Arab dalam berbagai bidangnya
b)
Pengetahuan tentang
ilmu-ilmu Al Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh
c)
Pengetahuan tentang
prinsip-prinsip pokok keagamaan,dan
d)
Pengetahuan tentang
disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. [11]
Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat
diatas tidak dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an. Faktor – faktor yang
mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah :
a)
Subyektifitas
mufasir ;
b)
Kekeliruan dalam
menerapkan metode atau kaidah ;
c)
Kedangkalan dalam
menerapkan ilmu-ilmu alat ;
d)
Kedangkalan pengetahuan
tentang materi uraian (pembicaraan) ayat ;
e)
Tidak memperhatikan
konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat.
f)
Tidak memperhatikan
siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan
4.
Tujuan
Para ulama sepakat untuk menetapkan
bahwa tujuan utama dari kaidah – kaidah tafsir adalah untuk memberikan pedoman
bagi mufassir agar tidak menyimpang dari kebenaran ketika menafsirkan ayat –
ayat al – Qur’an. Pemahaman makna dan isi al – Qur’an dengan benar menjadi penting,
karena dengannya ajaran – ajaran yang terkandung dalam wahyu Ilahi ini dapat
dimengerti selanjutnya dilaksanakan dalam perbuatan. Tanpa bantuan kaidah –
kaidah tafsir sebagai pedoman, ada kemungkinan seseorang tidak dapat mengetahui
maksud dari tuntutan – tuntutan Allah
dengan benar. Bila demikian, ia tentu tidak akan mendapat petunjuk dari Kitab
Suci ini. Situasi yang demikian akan membuat al – Qur’an menjadi tidak bermakna
bila dikaitkan dengan fungsinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan linnas). Selain itu, orang yan
terus berupaya untuk memahaminya tanpa bantuan kaidah –kaidah tafsir tersebut
sangat mungkin akan terperosok dalam kesalahan ketika memahami ayat – ayat al –
Qur’an. Akibatnya, ketika melaksanakan ajaran – ajarannya, bisa jadi ia akan
melakukan kesalahan – kesalahan.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada
bagian terdahulu, bahwa al – Qur’an merupakan wahyu ilahi yang diturunkan dalam
bahasa Arab. Ayat –ayatnya sebagian besar masih mencangkup makna yang global,
dan sering kali masih berupa isyarat –isyarat yang mesti di urai atau
dianalisis lebih lanjut. Dengan keadaannya yang demikian, untuk memahaminya
tentulah diperlukan seperangkat pengetahuan yang dapat dipergunakan untuk
membantu menguraikan pengertian dan maknanya. Diantara perangkat yang mesti
dikuasai oleh mereka yang ingin menafsirkan atau memahami al- Qur’an adalah
kaidah – kaidah penafsirannya.
Kaidah – kaidah tafsir yang terdiri dari
seperangkat patokan atau pedoman yang bersifat global merupakan ketetapan yang
di simpulkan dari beberapa contoh redaksi ayat, yang kemudian dirumuskan
sebagai pedoman pokok bagi ayat – ayat lain yang senada. Rumusan ini, dengan
demikian, dapat diterapkan pada ayat – aya lain yang memiliki susunan redaksi
untuk bentuk kata yang serupa. Upaya demikian dilakukan untuk menghasilkan
pemahaman terhadap ayat – ayat al – Qur’an yang dikaji makna dan kandungannya.
5.
Urgensi
Mengetahuinya
Pada awalnya, ilmu itu merupakan
pengetahuan tentang sesuatu yang sifatnya global. Artinya, ilmu tersebut masih
bersifat meyeluruh dan mencangkup semua aspek yang berkaitan dengannya. Dengan
perkembangn zaman dan semakin majunya penalaran, ilmu pengetahuan juga
berkembang pesat.spesialisasi dalam ilmu pengetahuan mulai muncul, dengan
tujuan agar pengetahuan tentang suatu masalah dapat dikaji dan dikembangkan
semakin dalam. Pada masa kini, ketika seseorang berbicara mengenai suatu cabang
ilmu, pasti akan dilanjutkan pada sesuatu yang menjadi kekhususannya.
Miasalnya, seprang dokter yang menguasai ilmu tentang kesehatan dan penyembuhan
penyakit, pasti selanjutnya akan dikaitkan dengan spesialisasi yang
dikuasainya. Apakah ia spesialis dalam penyakit mata, jantung, paru – paru,
kandungan, dan lain sebagainya. Demikian pula dengan disiplin ilmu lain,
seperti hukum tata negara, hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain
sebagainya. Dengan perkembangan demikian, para cendikiawan selanjutnya
disibukkan dengan upaya untuk merangkum keragaman spesialisasi ini dalam
tatanan tertentu yang mencangkup semua pengetahuan yang terkait. Tujuan yang
ingin dicapai dengan upaya ini adalah untuk memudahkan dan mempelajari ilmu
tersebut. Selain itu, upaya ini juga ditujukan untuk mengellompokkan bidang
ilmu yang semakin beragam, dan menolong mereka yang ingin mempelajarinya.
Dengan adanya aturan atau tatanan ini,diharapkan mereka yang ingin mendalaminya
akan dapat menghemat waktu dan tenaga dalam upaya yang mereka lakukan. Uraian tersebut
mengisyaratkan bahwa pembuatan aturan – aturan pokok atau kaidah – kaidah yang
berkaitan dengan suatu ilmu pengetahuan menjadi sangat penting. Dengannya,
seseorang akan sampai apada penguasaan ilmu dengan total. Sebaliknya, tanpa
pengetahuan tentang kaidah – kaidah yang terkait dengannya, mustahil seseorang
dapat sampai pada penguasaan dan pemaahaman yang baik terhadap pengetahuan yang
di pelajarinya. Ibnu Taimiyyah (w. 621 H.) dalam Majmu’al – Fatawa
mengungkapkan betapa pentingnya kaidah – kaidah yang mencangkup segala
hal yang terkait dengan suatu pengetahuan. Sejalan dengan alur pemikiran
demikian, beliau mengatakan bahwa mestinya manusia memahami dasar – dasar pokok
suatu pengetahuan sebagai induk dari rincian atau keragamannya. Dengan
pemahaman demikian, niscaya mereka akan terhindar dari ketidak tahuan
tentangrincisn stsu keragaman tentang suatu pengetahuan,dan pemahaman terhadap
induk dari berbagai pengetahuan tersebut.[6]
Posisi dari dasar atau induk suatu
pengetahuan dan kaidah – kaidahnya bagaikan pondasi dari suatu bangunan atau
akar bagi tumbuhan. Bila pondasi ini kuat, maka bangunan itu akan menjadi
kukuh, kuat, dan tidak mudah goyah atau roboh ketika diterpa angin. Sebaliknya,
bila pondasi atau akar penopang tanaman itu rapuh, maka bangunan atau pohon itu
dengan mudah akan roboh bila tertiup angin atau terjadi gempa.dari ungkapan ini
dapat diketahui betapa pentingnya keberadaan kaidah – kaidah dari suatu
pengetahuan terhadap ilmu – ilmu sejenis yang merupakan bagian – bagiannya.
Dengan uraian tersebut, jelaslah urgensi
dari kaidah – kaidah tafsir ini bagi penafsiran al – Qur’an. Selain itu
pentingnya pengetahuan ini juga terkait dengan objek yang menjadi bahasannya.
Sebagaimana yang telah di singgung diatas, penting atau tidaknya sesuatu itu
tidak terlepas dari tiga hal, yaitu: 1) objek yang menjadi utama kajiannya; 2)
maksud yang ingin dicapai; 3) besarnya kebutuhan pada pengetahuan tersebut.
Dari paparan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa urgensi dari
pengetahuan tentang kaidah – kaidah tafsir memang sangat penting.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai
pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas
petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas
yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan
dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai
suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat
kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir
berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi
yang dapat dipertanggung jawabkan.
Penerapan kaidah tafsir bergantung
pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir. Dari berbagai kaidah tersebut
dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah umum dan kaidah khusus.
Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya
masing-masing
Pada era kontemporer kaidah tafsir
semakin berkembang seiring dengan perkembangan intelektualitas para pemikir
muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas global. Para pemikir
muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai dengan situasi
sosio-historis yang dihadapinya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Khalid ‘Usman as-Sabti,
Qawaii’id at-Tafsir: Jam ‘an wa Diriisatan, Jilid 1, (Kairo: Dar Ibn ‘Afran
1421 H) h. 23
[1] Hasan shadily (ed.),
Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1980),h. 1619.
[1] Ibid.,h.583.
[1] Bandingkan dengan
definisi yang dikemukakan Husein al – Zahabi dalam al-Tafsir wa al –
Mufassirin, Jilid 1, (Kairo: Maktabah al-Wahbah,1409 H.), H.15, dan yang
ditulis al- Zarkani dalam Manahil al- ‘irfan fi ulum al – Qur’an, Jilid 2,
(Beirut: Dar al-Fikr,1988, H. 3.)
Khalin
bin ‘Usman al – Sabti,Qawa’id al –Tafsir, Jam ‘an wa Dirasatan, (Kairo:Dar Ibn
‘Affan, 1421 H.), h.30.
[1] Khalid ‘Usman as-Sabti, Qawaii’id at-Tafsir: Jam ‘an wa Diriisatan,
Jilid 1, (Kairo: Dar Ibn ‘Afran 1421 H) h. 23
[2]
Hasan shadily (ed.), Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve,1980),h. 1619.
[3]
Ibid.,h.583.
[4]
Bandingkan dengan definisi yang dikemukakan Husein al – Zahabi dalam al-Tafsir
wa al – Mufassirin, Jilid 1, (Kairo: Maktabah al-Wahbah,1409 H.), H.15, dan
yang ditulis al- Zarkani dalam Manahil al- ‘irfan fi ulum al – Qur’an, Jilid 2,
(Beirut: Dar al-Fikr,1988, H. 3.)
[5]
Khalin bin ‘Usman al – Sabti,Qawa’id al –Tafsir, Jam ‘an wa Dirasatan,
(Kairo:Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.), h.30.
[6]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al – Fatawa, jilid 19, (Riyad,tt),h. 203.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar