BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tokoh-Tokoh
Aliran Behavioristik
1.
J.B.
Watson
Watson lahir di Carolina selatan dan menyelesaikan pendidikan serjananya
di universitas furman. Diuniversitas Chicago ia belajar dibawah bimbingan dua
fungsionalis penting di Amerika, John dewey dan James Raolaned Angell. Watson
juga mempelajari fisiologi dan Neurologi dibawah bimbingan H.H. Donaledson dan
JacQues Loeb dan meraih gelar Ph.D. pada tahun 1903. Penelitian awal Watson
tentang pembelajaran teka teki ruang sekat sangat bergantung pada peraktik
peraktik metodologis fisiologi, termasuk penggunaan tikus percobaan[1]
2.
William Sildon
Sildon lahir pada tahun 1889 di rhode islaned tempat ia tumbuh
dalam lingkungan pertanian. Latar belakang pendidikanya adalah kedokteran dan
minatnya saemasa kecil terhadap pembiakan binatang terungkap dengan jelas dalam
perhatian profesinya terhadap factor biologis, identitas dan tingkah laku.
Seldom beranggapan bahwa dalam jasmani ini psikologi dapat menemukan persatuan
konstan, sub-sub struktur kokoh yang sangat dibutuhkan untuk memasukkan konsep
tentang regularitas dan konsistensi kedalam studi tingkah laku manusia[2].
3.
Burrhus
Frederic Skinner (1904-1990).
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern skinner
mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun
1938, skinner menerbitkan bukunya yang berjudul the behavior of organis[3].
4.
Ivan
Petrovich Pavlov (1849-1936)
Ivan petrovich Pavlov lahir 14 desember 1949 di Riazan Rusia yaitu
desa tempat ayahnya peter dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia
dididik disekolah gereja dan melanjutkan ke seminar teologi. Pavlof lulus
sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar pisiologi, pada tahun 1884 ia
menjadi derektur departeman pisiologi pada institute of experimental medicine
dan mulai penelitian mengenai pisiologi pencernaan. Experimen-expirimen yang
dilakukan pavlof dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pada pandangan
behapioresme, dimana gejala-gejala kejiwaan seorang dilihat dari prilakunya.
5.
Edwerd Lee
Thorndike (1874-1949)
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang
berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari
Harvard tahun 1896. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational
Psychology (1903), Mental and Social Measurements (1904), Animal Intelligence
(1911), dan Hukum Nature and The Social Order (1940)[4].
B. Pandangan
Teori Behavioristik Terhadap Manusia.
Menurut behaviorisme, psikologi adalah
sains, sedangkan sains hanya berhubungan dengan apa saja yang dapat diamati
secara kasat mata. Jika didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak bisa diamati
secara kasat mata, jiwa-menurut behaviorisme-berada diluar wilayah psikologi.
Teori yang paling menonjol dalam aliran
behaviorisme mengenai manusia adalah teori belajar. Menurutnya, seluruh
perilaku manusia adalah hasil belajar, kecuali instinknya. Behaviorisme tidak
peduli apakah manusia itu baik atau buruk atau apakah rasional ataukah
emosional. Aliran ini hanya menganalisis bagaimana perilaku manusia di
kendalikan oleh lingkungannya[5].
Skema
2-1
Perilaku
dan pengetahuan ala behaviorisme
Perilaku
Melahirkan
Pengalaman
Yang Membawa
Belajar
Yang
Memungkinkan adanya
Pengetahuan
Yang berperan utama
dalam
penentuan
Perilaku
Behaviorisme merupakan aliran psikologi
yang berinduk kepada empirisme. Empirisme beranak pinak hingga melahirkan salah satunya aliran behaviorisme.
Leluhur utama aliran ini adalah aristoteles. Pada perkembangan berikutnya,
behaviorisme lebih sering disebut sebagai psikologi Aristotelian.
Bandura menyebutkan bahwa belajar
terjadi karena peniruan. Kemampuan meniru respons orang lain, misalnya meniru
bunyi yang sering didengar, merupakan penyebab utama belajar.
Ketika dihubungkan dengan penyakit
mental, teori-teori behaviorisme tentang psikiatri hanya berlaku untuk sebagian
penyakit mental. Akibat ketidak pedulian terhadap kesadaran manusia,
behaviorisme mengalami beberapa kekurangan, yaitu:
a)
Behaviorisme gagal
memasukkan data dari pengalaman subjektif individu yang sangat berarti bagi
dirinya.
b)
Behaviorisme gagal
menjelaskan dimensi perilaku manusia yang lebih kompleks. Dalam hal ini,
behaviorisme tidak dapat menjelaskan keimanan, cinta, keberanian, harapan, dan
kecemasan.
c)
Behaviorisme gagal
menjelaskan nilai dan makna dalam eksistensi manusia dan cara manusia harus
berhubungan dengan sesame.
d)
Masih banyak kegagalan
yang dialami oleh behaviorisme.
Teori utama dari Watson, yaitu konsep
stimulus dan respons (SR) dalam psikologi. Stimuslus adalah segala sesuatu
objek yang berseumber dari lingkungan, sedangkan respons adalah segala
aktifitas sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai tingkat sederhana hingga
tingkat tinggi. Watson tidak mempercayai unsure Herediten (keturunan) sebagai
penentu perilaku. Menurutnya, perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga
unsure lingkungan sangat penting. Pemikiran Watson menjadi dasar bagi para
penganut behaviorisme berikutnya.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses inetraksi antara stimulus dan
respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang dapat pula berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan
tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit yaitu yang dapat
diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran
behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan
bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thomdike
ini disebut pula dengan teori koneksionisme.
Teori - teori yang dikembangkan oleh kelompok behaviorisme
banyak dihasilkan melalui berbagai eksperimen terhadap binatang. Berikut ini
disajikan beberapa teori penting yang dihasilkan oleh kelompok behaviorisme.
a)
Connectionism Thorndike
Eksperimen
yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya sebagai berikut.
1.
Law
of effect; artinya jika sebuah respon
menghasilkan effek yang memuaskan, hubungan stimulus-respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin
tidak memuaskan efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan yang
terjadi antara stimulus-respons.
2.
Law
of readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada
asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar
(conduction unit), dan unit-unit
ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.
3.
Law
of exercise; artinya bahwa hubungan antara
stimulus dan respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih.
Sebaliknya, hubungan ini akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak
dilatih.
b)
Social Lerning Albert
Bandura
Teori
belajar social atau disebut juga teori observasional learning adalah teori
belajar yang relative masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar
lainnya. Berbeda dengan penganut behaviorisme lainnya, bandura memandang
perilaku individu tidak semata-mata reflex otomatis atas stimulus (S-R Bond),
melainkan reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dan
skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar, menurut teori ini,
adalah yang dipelajari individu, terutama dalam belajar social dan moral
terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian
ganjaran dan hukuman, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku
soaial yang perlu dilakukan.
C.
Teori Tentang Dinamika
Prilaku Manusia
1.
Dipandang
dari segi motifnya setiap gerak perilaku manusia itu selalu mengandung tiga
asfek, yang kedudukannya bertahap dan berurutan (sequential), yaitu:
a)
Motivation
(timbulnya kekuatan dan terjadinya kesiap sediaan sebagai akibat terasanya
kebutuhan jaringan atau sekresi, hormonal dalam diri organisme atau karena terangsang
oleh stimulus tertentu).
b)
Motivated
behavior (bergeraknya organisme kearah tujuan tertentu sesuai dengan sifat
kebutuhan yang hendak dipenuhi dan dipuaskannya, misalnya lapar cari makanan
dan memakannya). Dengan demikian, setiap perilaku pada hakekatnya bersifat
instrumental (sadar atau tidak sadar).
c)
Satisfied
conditions (dengan berhasilnya dicapai tujuan yang dapat memenuhi kebutuhan
yang terasa, maka keseimbangan dalam diri organisme pulih kembali ialah
terpeliharanya, homeostasis, kondisi demikian dihayati sebagai rasa nikmat dan
puas atau lega). Namun, didalam kenyataan-nya, tidak selamanya kondisi pada
tahap ketiga itu demikian, bahkan mungkin sebaliknya. Ialah terjadinya
ketegangan yang memuncak kalau insentifnya (goals) tidak tercapai, sehingga
individu merasa kecewa (frustration).
2.
Karena
terjadinya metabolism dan penggunaan atau pelepasan kalori, perangsangan
kembali, dan sebagainya, kepuasan itu hanya bersifat temporal (sementara). Oleh
karena itu, geraknya atau dinamika proses perilaku itu sebenarnya akan
berlangsung secara siklus (cyclical)[6].
Introspeksi yang berarti
mengamati perasaan sendiri, digunakan dalam eksperimen-eksperimen di
laboratorium Wundt untuk mengetahui ada atau tidak adanya perasaan–perasaan
tertentu dalam diri orang yang diperiksa. Jadi, orang diperiksa dapat mengetahui perasaan-perasaan apa yang dapat
ditimbulkannya dalam eksperimen-eksperimennya. Oleh karena itu, psikologi Wundt
dikenal juga dengan nama psikologi introspeksi. Pandangan ini dibawa dan
dipopulerkan dari Jerman ke Amerika oleh salah seorang murid Wundt yang bernama
Edward.
Watson dilain pihak,
memperkenalkan psikologi yang sama sekali tidak menggunakan introspeksi.
Menurut dia proses-proses kesadaran tidak perlu diselidiki, karena yang lebih
penting adalah proses adaptasi, gerakan otot-otot dan kelenjar-kelenjar. Ia
berharap dengan teori ini dapat dicapai objektivitas ilmiah yang lebih
sempurna, karena dalam introspeksi pengaruh paktor-paktor subjective dari orang
yang diperiksa besar sekali.
Oleh karena itu, ia lebih
mementingkan perilaku terbuka yang langsung dapat diamati dan diukur daripada
perilaku tertutup yang hanya dapat diketahui secara tidak
langsung. Emosi gembira atau emosi sedih menurut kaum “behavioristik” adalah
manifestasi dari adanya ketegangan (tarikan) otot-otot atau syaraf-syaraf
tertentu. Aliran ini disebut pula sebagai psikologi “S-R” (stimulus-respons),
karena menurut penganut-penganut aliran ini perilaku selalu dimulai dengan
adanya rangsang (stimulus) dan diikuti oleh suatu reaksi (response) terhadap
rangsang itu.
Sebagaimana Pavlop yang
percaya bahwa perilaku, bahkan kebudayaan, hanyalah rangkaian reflex terkondisi
saja, Watson pun yakin, bahwa ia dapat melatih 10 anak untuk mempunyai sifat
yang berbeda-beda (penakut, pemberani, pemalu, dan sebagainya), hanya dengan
melatihnya melalui proses kondisioning. Salah satu penganut Watson yang sangat
besar masukannya untuk perkembangan behaviorisme adalah B.F Skinner[7].
System yang memaknai
psikologi sebagai studi tentang perilaku mendapat dukungan kuat dalam
perkembangan di abad ke-20 yang utamanya terjadi di Amerika serikat. Perilaku
yang dapat diamati dan dikuantifikasi di asumsikan memiliki maknanya sendiri,
bukan sekadar berfungsi sebagai perwujudan peristiwa-peristiwa mental yang
mendasarinya. Watson mengusulkan peralihan radikal dari formulasi-formulasi
psikologi yang ada saat itu dengan menyatakan bahwa arah perkembangan psikologi
yang benar bukanlah studi tentang kesadaran “dalam diri’. Pada kenyataanya, ia
mengabaikan seluruh konsep tentang kondisi mental kesadaran nonfisik sebagai
suatu masalah semu bagi ilmu pengetahuan. Dalam posisinya Watson mendukung
perilaku tampak yang dapat diamati sebagai satu-satunya subjek pembahasan yang
masuk akal bagi ilmu pengetahuan psikologi sejati.
Suatu pendekatan empiris
fundamental terhadap pengkajian asosiasi dalam psikologi behavioristik,
meskipun secara umum mengikuti pendapat para filsuf inggris, digunakan dalam
penelitian sekelompok fisiolog yang sebagian besar berkebangsaan rusia yang
mempelajari refleksologi.
Watson menyatakan bahwa
perilaku subjek itu sendiri pantas untuk dipelajari, bukan karena perilaku
tersebut mencerminkan kondisi kesadaran yang mendasarinya. Meskipun ia
memperluas dan memperkuat logika argument yang memilih studi tentang perilaku
daripada kesadaran, Watson tidak menulis sesuatu yang benar-benar original.
Selain berfungsi sebagai katalis bagi beberapa tradisi yang
bergabung menjadi satu, be[8]haviorisme
Watson merupakan reaksi keras terhadap berbagai metode studi yang umum dalam
psikologi kesadaran. Watson menentang introspeksi sebagai metode yang layak.
Dengan menyebutkan sulitnya mencapai kesepakatan diantara parra introspeksionis
yang menamati proses-proses yang sama, ia berpendapat bahwa introspeksi
bukanlah metodologi yang objektif, dan kebergantungan pada metode tersebut akan
mengakibatkan bencana bagi psikologi.
Pandangan-pandangan Watson
berpusat pada premis bahwa wilayah psikologi adalah perilaku, yang diukur
sebagai stumulus dan respons; sejalan dengan itu, psikologi berurusan dengan
elemen-elemen peripheral stimulus dan respons yang menggerakkan makhluk hidup.
Setiap respons ditentukan oleh stimulus, sehingga perilaku dapat dianalisis
secara lengkap melalui hubungan kausal antara elemen-elemen stimulus dan
respons. Watson tidak mengabaikan kemungkinan eksistensi kondisi mental
sentral, seperti kesadaran, namun meyakini bahwa karna kondisi sentral semacam
itu bersifat nonfisik dan tidak dapat dipelajari secara ilmiah, hal itu
merupakan masalah semua masalah psikologi.
Perilaku adalah pencapaian
manusia, dan kita seolah merenggut organisme manusia dari sesuatu yang menjadi
karakteristik alamiahnya ketika kita malahan menunjuk sumber-sumber lingkungan
perilakunya. Kita tidak mendehumanisasikannya: kita mendehomunkulisasikannya.
Itu intinya adalah otonomi.
D.
Implikasi
Psikologi behavioristik dalam pendidikan
Psikologi behavioristik merupakan salah satu
dari tiga aliran psikologi pendidikan yang tumbuh dan berkembang secara
beruntun dari periode ke periode. Dalam perkembangan aliran psikologi tersebut
bermunculan teori belajar yang secara garis besar dikelompokkan pada dua teori
belajar,yaitu teori belajar conditioning dan teori belajar connectionism.
1. Teori belajar conditioning
a) John B Watson
John B Watson merupakan orang pertama
diamerika serikat yang mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian
Ivan Vavlov. Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadi refleks
atau respon bersyarat melalui stimulus pengganti. Manusia dilahirkan dengan
beberapa refleks dan reaksi emosional berupa takut, cinta, danmarah. Semua
tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan stimulus respon baru melalui
conditioning. Ia mengadakan eksperimen tentang perasaan takut kepada anak
dengan menggunakan tikus atau kelinci. Dari hasil percobaan dapat ditarik
kesimpulan bahwa persaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih. Anak-anak
pada mulanya tidak takut kepada kelinci dibuat menjadi takut pada kelinci.
Kemudian anak tersebut dilatih pula sehingga tidak menjadi takut lagi pada
kelinci.
Menurut teori conditioning, belajar itu merupakan suatu
proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat ( condition) yang
kemudian menimbulkan reaksi. Untuk menjadikan orang itu belajar haruslah kita
memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori
condioning adalah latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini adalah
belajar yang terjadi secara otomatis. Teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga
merupakan hasil kondisioning, yaitu hasil latihan atau kebiasaan bereaksi
terhadap syarat atau peransang tertentu yang dialami dalam kehidupannya.
Kelemahan teori ini adalah bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis
dan keaktifan serta penentuan pribadi dalam belajar tertentu saja seperti
belajar tentang keterampilan tertentu dan pembiasaan pada anak-anak kecil.
b) Teori operant conditioning (skinner)
Dari Burrhus Frederic Skinner penganut behaviorisme yang
dianggap controversial, dengan teori pembiasaan prilaku responsnya, merupakan
teori belajar yang paling mudah dan masih sangat berpengaruh dikalangan
psikologi belajar masa kini. Karya tulis terbarunya berjudul About
behaviorism. Didalam karyanya, tingkah laku terbentuk oleh konsekuensi yang
ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri. Seperti Pavlov dan Watson, Skinner
juga memikirkan tingkahlaku sebagai hubungan antara perangsang dan respons.
Perbedaannya, Skinner membuat perincian lebih jauh, yang membedakan dua macam
respons, yaitu respondent response dan operant response.
c)
Teori
Systematic (Clark C. Hull)
Teori ini menggunakan prinsif-prinsif yang mirip dengan yang dikemukakan
behavioris lainnya, yaitu dasar stimulus-respons dan adanya rensporsment. Teori
juga dalam usahanya mengemangkan teori belajar.
Menurut Hull, suatu kebutuhan harus ada dalam diri seseorang yang
belajar. Sebelum respons dapat diperkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu.
Dalam hal ini episiensi belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan
dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar oleh respons yang
dibuat individu itu.Setiap objek, kejadian , atau situasi dapat mempunyai nilai
sebagai penguat apabila hal itu dihubungkan dengan penurunan terhadap suatu
keadaan defrensi atau kekurangan pada diri individu yaitu objek, kejadian atau
situasi tadi dapat menjawab kebutuhan pada saat individu itu melakukan respons.
d)
Teori
conditioning
Menurut teori skinner, tingkah laku terbentuk dari konsekuensi
yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri, sedangkan tingkah laku
merupakan hubungan antara stimulus dan respons. Ada dua macam respons yaitu,
respondent respons dan operan respons ( timbul dan berkembang yang diikuti
perangsang tertentu dan pokus skinner pada prilaku ini). Dalam proses belajar
rewart atau rensponsment menjadi factor terpenting dalam teori ini, karena
peransang itu memperkuat respons yang telah dilakukan. Misalnya, system hadiah
pada anak yang telah melakukan hasil yang baik, sehingga anak menjadi giat
belajar. Namu disisi lain, kebiasaan mendapat hadiah akan mengubah prilaku
anak; ia selalu menunggu hadiah, kalau tidak ada hadiah tidak mau belajar. Hal
ini akan menjadi kebiasaan sampai dewasa, sedangkan keberhasilan belajar
merupakan kepentingannya sendiri guna masa depan yang baik.
2.
Teori connectionism
Teori ini ditemukan oleh
thorndike, yang menggunakan eksperimen kucing, anak-anak, dan orang dewasa
bahwa belajar merupaka peruses pembentukan koneksi antara stimulus dan respon.
Teori ini disebut juga teori trial and error learning. Individu yang belajar
melakukan kegiatan belajarnya melalui proses trial and error dalam rangka
memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu. Dalam teori ini, objek
mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat
koneksi suatu reaksi dengan stimulinya. Teori ini merumuskan hukum-hukum,
yaitu: law of readiness, law of exercise, dan law of effect. Belajar melalui
proses berupa trial dan error dan law of effect.
Teori ini menyamakan manusia
dengan hewan dan tidak selalu tingkah laku manusia dapat dipengaruhi secara
trial dan error. Kemudian ia memandang belajar hanya merupakan asocial belaka
antara stimulus dan respon, sehingga memperkuat asosiasi dengan
latihan-latihan. Ia memandang proses belajar berlangsung secara mekanistis,
tidak dipandangnya sebagai suatu pokok dalam belajar dan mengabaikan pengertian
sebagai unsure pokok dalam belajar.
Dari analisis diatas
jelaslah bahwa teori belajar psikologi behavioristik yang dikemukakan oleh para
psikolog behavioristik, sering disebut contemfurary behavioriset atau disebut
juga S-R psychologist bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran
(rewart) atau penguatan (rein for cement) dari lingkungan. Oleh karena itu,
dalam tingkah laku belajar ternyata terdapat hubungan yang erat antara reaksi
behavioral dengan stimulasinya.
Berdasarkan beberapa
pengertian tentang teori dan konsep behavioristik dalam uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa belajar merupakan usaha untuk menyesuaikan diri terhadap
kondisi atau situasi disekitar kita, dalam proses ini termasuk mendapatkan
pengertian dan sikap yang baru. Dengan demikian, terjadi perubahan prilaku yang
sebelumnya tidak mengenal atau mengerti menjadi mengerti terhadap suatu hal[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tokoh-tokoh aliran behavioristik
diantaranya yaitu: J.B.
Watson, William Sildon, Burrhus
Frederic Skinner, Ivan Petrovich Pavlov, dan Edwerd Lee.Thorndike. Pandangan
Teori Behavioristik Terhadap Manusia teori yang paling menonjol dalam aliran
behaviorisme mengenai manusia adalah teori belajar. Menurutnya, seluruh
perilaku manusia adalah hasil belajar, kecuali instinknya. Behaviorisme tidak
peduli apakah manusia itu baik atau buruk atau apakah rasional ataukah
emosional. Aliran ini hanya menganalisis bagaimana perilaku manusia di
kendalikan oleh lingkungannya.
Teori Tentang dinamika prilaku manusia.
Dipandang dari segi motifnya setiap gerak perilaku
manusia itu selalu mengandung tiga asfek,yang kedudukannya bertahap dan
berurutan (sequential), yaitu: Motivation, Motivated behavior , dan Satisfied
conditions. Karena terjadinya metabolism dan penggunaan atau pelepasan kalori,
perangsangan kembali, dan sebagainya, kepuasan itu hanya bersifat temporal
(sementara).
Implikasi Psikologi behavioristik dalam
pendidikan. Dalam perkembangan aliran psikologi tersebut
bermunculan teori belajar yang secara garis besar dikelompokkan pada dua teori
belajar,yaitu teori belajar conditioning dan teori belajar connectionism.
DAFTAR PUSTAKA
Abin, S.M. (2012). Psikologi
Kependidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sarwono, Sarlito W (2009). Pengantar
Psikologi Umum. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Brennan,
James F (2006). Sejarah Dan Sistem
Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suryabrata,
Sumadi. (2001). Psikologi Pendidikan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Djaali.
(2011). Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
[1] James F. Brennan. Sejarah dan
system psikologi, edisi 6. hlm. 355.
[2] Prof. Dr. H. Djaali. Psikologi
pendidikan. hlm. 80-81
[3] James F. Brennan. Sejarah dan
system psikologi, edisi 6. hlm. 375.
[4] Ibid. hlm. 355-375.
[5] Dr.H. Mahmud. Psikologi
Pendidikan, hlm. 28
[6] Prof.dr.h.abin syamsudin makmun, ma . psikologi kependidikan .hal
38
[7] Sarlito W. Sarwono, pengantar psikologi umum , hal 28
[8] James F Brennan, Sejarah Dan Sistem Psikologi , Hal 343
[9] Prof. Dr. H. Djaali. Psikologi
pendidikan. hlm. (78-98)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar