BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pembukuan Hadis
Kata pembukuan memiliki makna yang sama denagn kata tadwin atau
pengkodifikasian. Secara bahasa, tadwin diterjemahkan dengan kumpulan shahifah
(mujtama’ al-shuhuf)[1].
Secara luas tadwin diartikan dengan al-jam’u (mengumpulkan). Al-Zahrani
merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut:
“Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi
satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran”[2].
Sementara yang dimaksud dengan tadwin hadis pada periode ini adalah
pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala Negara
(khalifah), dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dibidangnya,bukan
yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang
terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Usaha ini dimulai pada masa pemerintahan islam yang dipimpi oleh
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani
Umayyah), melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan
dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Kepada Abu Bakar ibn Muhammad
ibn Amar ibn Hazm (Gubernur Madinah), ia mengirim instruksi, yang berbunyi:
“Perhatikan atau periksalah
hadis-hadis Rasulullah SAW, kemudian tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu
dengan meninggalnya para ahli.(Menurut suatu riwayat disebutkan meninggalnya
para ulama). Dan janganlah kamu terima, kecuali hadis Rasulullah SAW.[3]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm
(w. 117 H) agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman
Al-Anshari (murid kepercayaan Siti ‘Aisyah ) dan Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi
Bakar. Instruksi yang sama ia tujukan kepada Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri, yang
dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang
lainnya.[4]
Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun hadis dalam jumlah, yang
menurut para ulama kurang lengkap. Sedangkan ibn Syihab Al-Zuhri berhasilmenghimpunnya,
yang dinilai oleh para ulama lebih lengkap. Akan tetapi saying sekali, kedua
karya tabi’in ini lenyap, tidak sampai pada generasi sekarang.
B.
Latar
belakang pembukuan hadis
Ada tiga hal pokok mengapa Khalifah Umar ibn Abd Al-Aziz mengmbil
kebijaksanaan mengumpulkan hadis.ketiga hal tersebut adalah
1.
Beliau
khawatir akan hilangnya hadis –hadis, dengan meninggalnya para ulama dimedan
perang.
Hal ini adalah factor utama, sebagaimana terliahat pada naskah
surat-surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya, sebab peranan ulama pada
saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan ilmu agama, melainkan turut kemedan
perang atau bahkan, mengambil peranan penting dalam suatu pertemuan.
2.
Khalifah
Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih
dengan hadis-hadis palsu
3.
Semakin
meluasnya daerah kekuasaan islam
Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara
kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang alinnya tidak sama, jelas sangat
memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.[5]
Dengan melihat berbagai persoalan yang muncul, sebagai akibat
terjadinya pergolakan politik, yang sudah cukup lama, dan mendesaknya kebutuhan
untuk segera mengambil tindakan guna penyelamatan hadis dari kemusnahan dan
pemalsuan, maka Umar ibn Abdul Aziz sebagai seorang khalifah yang berakhlak
mulia, adil dan wira’I, terdorong untuk mengambil tindakan ini. Bahkan menurut
beberap riwayat , beliau ikut terlibat
mendiskusikan hadis-hadis yang sedang dihimpunnya.[6]
C.
Waktu
Pembukuan Hadis
Perkembangan penghimpunan dan pengodifikasian hadis terbagi menjadi
lima (5) periode yaitu periode Nabi Muhammad SAW, periode sahabat, periode
tabi’in, periode tabi’ tabi’in, dan periode setelah tabi’ tabi’in.
1.
Periode
rasulullah SAW
Periode Rasul
SAW merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan haadis.masa
ini berlangsung selama 23 tahun, mulai tahun 13 sebelun hujriyyah, bertepatan
dengan tahun 610 masehi sampai dengan tahun 11 hijriyyah, bertepatan dengan
tahun 632 masehi.
Keadaan tersebut
sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat, sebagai pewaris
pertama ajaran islam dalam menerima
kedua sumber ajara diatas, karena pada tangan mereka kedua-duanya hasrus
terpelihara dan disampaikan kepada pewris berikutnya secara berkesinambungan.
Wahyu yang
ditaurunkan Allah swt kepadanya dijelaskannya melalui perkataan (aqwal),
perbuatan (af’al), dan penetapan (taqrir)-nya.Sehingga apa yang didengar,
dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan
ubudiah mereka. Rasul merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena
ia memiliki sifat kesmpurnaan dan keutamaan selaku rasul Allah swt yang berbeda
dengan manusia lainnya.
a.
Beberapa
petunjuk Rasulullahsaw
Dalam
suatu majlis ilmu, Rasulullah saw adalah guru atau Pembina bagi para
sahabatnya. Beliau mengajarkan segala aspek ajaran Allah swt sesuai dengan
firmannyadalam beberapa ayat, antara lain dalam surat Al-Qalam ayat 4, An-Nisa’
ayat113, dan Al-Jum’ah ayat 2. Dalam beberapa sabdanya beliau juga menyampaikan
wasiat-wasiatnya untuk selau menyampaikan hadis kepada orang lain. Selain itu, Rasul juga menyampaikan
ketinggian kedudukan siapa saja yang belajar dan mengjarakn ajaran-ajarannya,
sehingga dinilai sebagai seorang mijahid fi sabilillah (pejuang Allah).[7]
b.
Cara
Rasul Menampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa
lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari
Rasul saw sebagai sumber hadis. Antara Rasul saw dengan mereka tidak ada jarak atau
hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya. Allah swt berfirman
dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya yaitu dalam Al-Qur’an suarah An-Najm
ayat 3-4 yang artinga “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu iada lain ialah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Ada beberapa cara Rsul menyampaikan hadis pada masa sahabat. Yaitu:
1)
Melalui
para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi
2)
Rasul
menyampaikan hadisnya melaui para sahbat tertentu ,yang kemudian disampaikan
kepada sahabat yang lain.
3)
Melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka
4)
Melalui
perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabat.
c.
Keadaan
para sahabat dalam menerima dan mengauasai hadis
Perbedaan kemampua sahabat terhadap hadis disebabkan karena
beberapa factor , diantaranya perbedaan dalam soal kesempatan bersama Rasul,
perbedaan soal kesanggupan bertanya kepada sahabat yang lain, cepat atau
lambatanya masuk islam.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banay
menerima hadias , mereka adalah
1)
Al-Sabuqun
Al-Awwalun
2)
istri-istri Rasul
3)
Sahabat
yanag selalau menulis hadis
4)
Sahabat
yang selalu bertanya kepada rasul
5)
Sahabat
yang sungguh-sungguh mngikuti majlis Rasul
d.
Pemeliharaan
Hadis dalam Hapalan dan Tulisan
1)
Menghafal
hadis
Terhadap
al=qur’an be,iau secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya menulis
disampung menghafalnya. Sedangkan terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya
dan melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini beliau bersabda
“Janganlah
kalian tulis apa saja dariku selain al-qur’an. Barang siapa telah menulis
dariki selain al-qur’an hendaklah
dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang
siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat
dududknya di neraka.”(HR.Muslim).
2)
Menulis
hadis
Pada
masa ini rasulullah melarang penulisan
hadis disebabakan karena al-qur’an masih diturunkan kepada beliau dan masih
dalam bentuk yang angat sederhana, sehingga belau khawatir akan tercampur
anatara al-qur’an dan hadis. Di balik larangan rasulullah, ternyata ditemukan
sejumlah sahabat yang memiliki catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan
memiliki catatan-catatannya, antara lain
a)
Abdullah
ibn amr al-‘ash
Beliau
memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasul sehingga
diberinya nama al-sahifah al- shadiqah.Sabda rasulullah “Tulislah!demi zat yang diriku berada
ditangnnya , tidak ada yang keluar dari padanya kecuali yang benar”.(HR Bukhari)[8].
b)
Jabir
ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78 H)
memiliki catatan hadis tenyang manasik haji, dan terkenal dengan
sahifah jabir.
c)
Hurairah Al-Dausi (w. 59 H)
catatan hadis beliau dikenal dengan al-sahifah al-sahihah
d)
Abu
Syah (Umar ibn Sa’ad Al- Anmiri)
Rasulullah bersabda “kalian tuliskan untuk abu syah”.
2.
hadis
pada masa sahabat
setelah
nabi wafat , para sahabat belum memihirkan penghimpuna dan pengodifikasian
hadis karena banyak problem yang dihadapi diantaranya timbul kelom[ok orang
yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banaya penghafal al-qur’an.
Abu
bakar pernah berkeinginan membukukan sunnah,tetapi digagalkan, karena khawatir
terjadi fitnah ditangan orang-oranag yang tidak dapat dipercya. Al-hakim
menceritakan bahwa aisyah ra. Berkata “ayahku menghimpun 500 hadis, semalaman
beliau bolak=balaik memeriksanya… ketika pagi beliau minta hadis-hais yang
ditananku untuk dibakardan berkata:’aku khawatir jika aku makti sementaa
hdis-hadis itu masih ditanganmu dari orang-orang yang terpercaya, namun tidak
diriwayatkan sebagaimana mestinya.’”
Umar
bin khattab juga pernah ingin mencoba menghimpunnya, tetapi setelah
bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau berkata:
“sesungguhnya
aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutka suatu kaum sebelum kalian
yanag menulis buku, kemudian meeka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab
allah. Demi Allah, sesungguhya aku iak akan mencampuradukkan kitab allah dengan
sesuatu yang lain selamanya.”[9]
Kekhawtiran umar bin khattab dalam pembukuan hadis adalah
tasyabbuh/menyerupai dengan ahli kitab, yaitu yahudi adan nasrani yang
meninggalkan kitab allah dan menggantikannya dengan kalam meraka dan
menempatkan biografi para nabi mereka didalam kitab tuhan mereka. Umar khawtir
uamat islam meninggalakan al-qur’an dan hanay membaca hadis. Jadi, abu bakar
dan umar tidak berarti melarang pengodifikasia hadis , tetapi melihat kondisi
pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Penyampaian periwayatan disampaikan secara lisan dan hanya jika
benar-benar dierlukan saja, yaitu ketiak umat islam benar-benar memerlukan
penjlaan hukum. Kedua khalia diatas menerima hadis dari orang per oaring dengan
syarat disertai saksi yang menguatkan. Bahkan alai menerimanaya jika disertai
dengan sumpah disamping saksi. Oleh karena itu, pada masa khulafa ur rasyidin
ini disebut sebagai masa pembatasan periwayatan (taqlil ar-riwayah).
a)
Menjaga
pesan rasul
Pada masa menjelang akhir kerasuannya , rasul berpesan kepada para
sahabat agar berpegang teguh kepada al-qur’an dan hadis serta mengajarkannya
kepada orang lain, sebagaiman sabdanya “telah akau tinggalkan untuk kalian dua
macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab
allah (al-qur’an) dan sunnahku (al-hadis)”(HR Malik)[10]
b)
Berhati-hati
dalam meriwayatkan dan menerima hadis
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwyatan yang dilakuan para
sahabat, disebabkan karena mereka khawatirterjadinya kekeliruan , yang padahal
mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah al-qur’an, yang
harusterjaga dari kekeliruan sebagaimana al-qur’an. Oleh karenanya , para
sahbat khususnya khulafa al-rasyidi dan sahabat lainnya, seperti al-zubair, ibn
abbas dan abu ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[11]
c)
Periwayatan
hadis dengan lafaz dan makna
·
Periwayatan
lafzi
Periwayatan
lafzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti
yang diwurudkan rasul saw, ini hanya busa dilakukan apabila mereka hafal benar
apa yanag disabdakan rasul saw. Dalam hala ini amar bin khattab pernah berkata
“barang siapa yanag mendengar hadis dari rasul kemudian ia meriwayatkannya
sesuai dengan yanag ia dengar, orang itu selamat”[12]
·
Periwayatan
maknawi
Yang
dimaksud adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dngan yang
didengarnya dari rasul, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara
utuh, sesuai dengan yanag dimaksud oleh rasultanpa ada perubahan sedikitpun.
3.hadis pada masa tabi’in
Pada masa ini al-qur’an telah dikumpulkan dalam mushaf, sehingga
tidak lagi megkhawatirkan mereka. Pada masa khalifah usman bin affan para
sahabat ahli hadi stelah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan
islam.hadis-hadis yang diterima oleh para tabi’in ini, seperti telah disebutkan
ada yang dalam bentuka catatan atau tulisan dan ada yang harusdihafal,
disamping dalan bentuk yang sudah berpolakan dalam ibadah dan amaliahpara
sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling
melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan.[13]
Pada
nasa ini disebut masa pengodifikasian
hadis(al-jam’u wa at-tadwin). Khalifah umar
bin abdul aziz (99-101 H),yang merupakan khalifah ke-8 dari bani umayyah yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu
adanya penghimpunan dan pembukuan hadis,
karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran nabi setelah wafatnya para
ulama, baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. oleh keena itu beliau
instruksikan kepada gubernur di seluruh wilayah negeri islam agar para ulama
dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis
Beliau terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang adil dan
wara’ sehingga dipandang sebagai khulafaur Rasyidi yang kelima.
Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin
Abdul Azis memerintahkan Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin
Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghapal.khalifa mengirim
surat kepada ibn hazm yang berbunyi:
“perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari
hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan
meninggalnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW, dan hendaklah
disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak
mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”
Selain kepada gubernur Madinah ,
khalifah juga menulis surat kepada gubernur lain agar mengusahakn pembukuan
hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri (15-124 H). tidak diketahui secara
pasti siapa diantara ulama yang lebih dulu dalam melaksanakan perintah khalifa
tersebut. Sebagian pendapat mengatakan abu bakar Muhammad bin amr bin
hazmsebagaiman bunyi teks diatas. Pendapat lain mengtakan ar-rabi’ bin shabih,
sa’id bin arubah , dan Muhammad bin muslim bin as-syihab az-zuhri. Namun,
pendapat yang paling popular adalah Muhammad bin muslim bin asy=syihab
az-zuhri, sedangkan ibnu hazm hanya menyampaikan instruksi khalifah keseluruh
negerai kekuasaan dan belum melaksanakan tugas pengodifikasian hadis. Az-zuhri
dinilai sebagai orang pertama dalam melaksankakn tugas pengodifiksian hadis
dari khalifah umar bin abdul aziz, dengan ungkapannya:
”
Kami diperintahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun sunnah, kami
telah melaksanakannya dari buku ke buku, kemudian dikirim ke setiap wilayah
kekuasaan Khalifah satu buku.”
Berdasarkan
inilah para ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa ibnu asy-syihab az-auhri
adalah orang pertama ynag mengodifikasikan hadis pada awal tahun 100 H dibawah
khalifah umar bin abdul aziz. Maksudnya disini orang yang pasling awal
menghimpun hadis dalam bentuk formal atau instruksi dari seorang khalifah dan
ditulis secara menyeluruh, karena tentunya penghimpunan hadis telah di mulai
sejak massa rasulullah di kalangan sahabat dan tabi’in namun belum menyeluruh ,
dan bukan berdasarkan intruksi seorang khalifah.
Kemudian aktifitas
penghimpunan hadis tersebar keseluruh negri islam pada abad ke-2 H, diantaranya
Abdullah bin abdul aziz, ibnu ishak, Abdurrahman abu ameral-auza’I, sufyan
al-tsauri,dan lain-lain.
Penghimpunan hadis
pada masa ini masih bercampur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda
dengan penulisan pada abad sebelumya yang masih berbentuk lembaran-lembaran
atau sahifah-sahifahyang dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab
secara tartib.[14]
Sdangkan pada masa ini sudah di himpun bab per bab, materi adisnya di himpun
dari suhuf yang di tulis oleh para sahabat sebelumnya dan di peroleh melalui
periwayatan secara lisan ,baik dari sahabat maupun tabiin.
Di antara
buku-buku yang muncul pada masa ini adalah :
1.
Muwatha’
(imam malik)
2.
Al-mushanaf
(abdul razakbin hammam ash-sanani)
3.
As-sunah
(abd bin mansyur)
4.
Al-musannaf
(abubakar bin saybah)
5.
Musnad
as-syafii
Kitab-kitab hadis pada masa ini tidak sampai kepada kita, keciali
di antaranya almuwattha’ yang di tulis oleh imam malik dan musnad ss-syafi di
tulis ileh imam as-syafii
METODE
4. periode tabi’ tabi’in
Periode tabi’ tabiin artinay pengikut tabiin , yaitu bada abad ke-3
H yang di sebut ulama dahulu /salaf/mutakaddimin . sedangkan ualama pada abad
berikutnya, abad ke-4 H dan setelahnya disebut ulama belakangnan / khalaf /
muta’akhirin. Pada periode abad ke-3 ini disebut Masa Kejayaan Sunnah (min
‘ushur al-azdiha) atau disebut nmasa keemasan sunnah (min al-‘ushur
adz-dzabiah), karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah
serta pembukuannya mencapai puncak keberhasilan yang luar biasa. Seolah-lah
pada periode ini seluruh hais telah terhimpun semuanya dan pada abad berikutnya
tid mengalami perkembangan yang signifikan. Maka lahirlah buku induk hadis enam
(ummahat kutub as-sittah) yaitu buku haadis sunnan al-jami’ ash=sahih yang
dipedomani oleh umat islam dan buku-buku hadis musnad. Maksud buku induk hadis
enam ialah buku-buku hadis yang dijadikan pedoman dan referensi para ulama
hadis berikutnya.
Perode ini masa yang paling sukses dalam pembykuan hadis, sebab
pada masa ulama hasdis telah berhasil memisahkan hadis nabi dari yang bukan
hadis atau dari hasdis nabi dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mnegadakan filterisasi
(penyarinagn) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan nabi, sehingga telah
dapat dipisahka mana hadis yang sahih dan hadis yang bukan sahih. Seolah-olah
pada abad ini hamper seluruh hadis telah terhimpun kedal buku, hanya sebagian
kecil saja dari hadis yang belum yrthimpun.dan yang pertama kali membukukan
hadis sahih adalah al bukhari, kemudian disususl oleh imam muslim. Oleh karena
itu pada periode disebut juga masa kodifikasi dan filterisasi (ashr al-jami’ wa
attashih).
6.
Periode
setelah tabi’ tabi’in
Pada abad ini disebut penghimpunan.ulam yang hidup pada abad ke=4 H
dan berikutnya disebut ulama mutaakhirin atau khalaf atau modern, sedangkan
ulama ynag hidup debelum abad ke-4 H disebut mutaqaddimin/salaf (klasik).
Perbedaan mereka dalam periwayatan dan pengodifikasan hadis , ulama
mutaqaddimin menghimpun hadis nabi dengan cara langsung mendengar dari
guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri, baik matan dan sanaadnya.
Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk mengecek
kebenaran hadis yang mereka dengar dari orang lain. Sedang ulama khalaf , cara
periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab
mutaaqddiamin. Oleh kare itu tidak banyak penambahan hadis pada masa ini dan
pada abad beikutnya kecuali hany sedikit saja. Namun, dari segi tekhnik
pembukuannya lebih sistematik dari masa-masa sebelumya.
Perkembangan tekhnik pembukuan hadis pada abad ini yaitu pada abad
ini, yaitu pada abad 4-6 H sebagai berikut:
1.
Mu’jam,
artinya penghimpunan hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara abjad
(alphabet) seperti al-mu’jam al-kabir sualiman bin Muhammad ath-thabrani (w.
360 H)
2.
Shahih,
artinya metode pembukuannya mengikutu metode pembukuan hadis sahih (bukhari dan
muslim) yang hanya mengumpulakn hadis sahih, seperti sahih ibnu hibban al-bas’ti
(w. 354 H).
3.
Al-musradrak,
artinya mnambah beberapa hadis sahih yang belum disebutkan dalam kitab bukhari
dan muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan keduanya, seperti
al-mustadrak ‘ala al-shahihayn karya abi Abdullah al-hakim an-naisabur (w. 405)
4.
Sunan,
yaitu cakupan hadis-hadisnya tantang hukum seperti fiqh dan kualitasnya,
seperti muntaqa ibnu al-jarud (w. 307 )
5.
Syarah,
yaitu penjelasan hadis, baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama
maksud dan makna matan hadis atau pemecahannya jika terjadi kontradikisi dengan
ayat atau hadis lain, seperti syarah musykil al-atsar karya ath-thahawi (w.
321)
6.
Mustakhraj
ialah seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa buah hadis dari sebuah
buku hadis seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad
sendiri, seperti mustakhraj abi bakr al-asma’ili ala sahih al-bukhari (w. 371
H)
7.
Al-jam’u,
gabungan dua atau beberapa buku hadis menjadi satu buku, al-jam’u bayn
ash-shahihayn karya isma’il bin ahmad.
Pada
masa berikutnya abad 7-8 H dan berikutnya disebut masa penghimpunan dan
pembukuan hadis secara sistematik (al-jam’u wa at-tanzhim). Karena danya penaklukan
wilayah oleh bangsa turki, ulama hadis tidak bebas menyampaikan dan menerima
hadis. Maka dilakukan secara murasalat (korespondensi), ijazah,yaitu metode
seorang guru memberika izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis yang
ditulis oleh gurunya, dan terakhir imla’ yaitu seorang guru hadis duduk dimsjid
, kemudian ia menguraikan hadis itu,sedangkan yang hadir mencatat, seperti ynag
dilakukan oleh zainuddin al-iraqi (w. 806 H) dan ibn hajar al-asqalani (w. 852
H).
Demikian
perkembangan penulisan dan pengodifikasian hadis sampai abad 12 H. mulai abad
terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti
dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij,
dan memberikan syarah hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
E.Tokoh yang Berperan dalam Pembukuan Hadis
Ada beberapa tokoh yang berperan dalam proses pembukuan hadis
yaitu:
1.
Dari
kalangan tabi’in
a.umar
bin abdul aziz
Khalifah
umar bin abdul aziz (99-101 H),yang merupakan khalifah ke-8 dari bani
umayyah yang hidup pada akhir abad 1 H
menganggap perlu adanya penghimpunan dan
pembukuan hadis, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran nabi setelah
wafatnya para ulama, baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. oleh keena itu
beliau instruksikan kepada gubernur di seluruh wilayah negeri islam agar para
ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis Beliau terkenal sebagai seorang khalifah dari
Bani Umayyah yang adil dan wara’ sehingga dipandang sebagai khulafaur Rasyidi
yang kelima.
b.abu
bakar Muhammad bin amr bin hazm (gubernur madinah)
c.muhammad
bin muslim bin asy-syihab az-zuhri
Az-zuhri
dinilai sebagai orang pertama dalam melaksankakn tugas pengodifiksian hadis
dari khalifah umar bin abdul aziz, dengan ungkapannya:
”
Kami diperintahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun sunnah, kami
telah melaksanakannya dari buku ke buku, kemudian dikirim ke setiap wilayah
kekuasaan Khalifah satu buku.”
d.Imam
malik,pengarang kitab al-muwaththa’
e.imam
syafi’I, pengarang kitab musnad asy-syafi’i
2. kalangan tbi’ tabi’in
a.al-bukhari
b. imam muslim
c. an-nasa’i
d.abu dawud
e. at-tirmidzi
f.ibnu majah
3.kalangan setelah
tabi’tabi’in
a.sulaiman bin ahmad ath-thabrani (w. 36)
karya
beliau yaitu al- mu’jam
al-kabir,al-mu’jam al-awsath, al-mu’jam al-ashgar. Mu’jam al-kabir membahas
tentang hadis-hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat berdasarkan
alfhabet.
b. abi Abdullah
al-hakim an-naisaburi (w. 405)
karya
beliau yaitu al-mustadrak yang artinya menambah beberapa hadis sahih yang belum
disebutkan oleh imam bukhari dan imam muslim, yang persyaratan sahihnya telah
memenuhi syarat yang ditetepkan oleh keduanya.
c.
al-baihaqi, karya beliau yait kitab sunan al-baihaqi
d.
ath-thahaawi (w.321 H), karya beliau adalah syarah musykil al-atsar.[15]
[1] Al-Fairuz Abadi, Al-Muhith.
[2] Dr. Muhammad ibn Mathar Al-Zahrani, Tadwin
Al-Sunnah Al-Nabawiyah, Nasy’atihi wa Tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila
Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’Al-Hijri, (Thaif: Maktabah Al-Shadiq, 1412 H), Cet. I,
hlm. 73.
[3] M ‘Ajaj Al-Khatib, Op. Cit., halaman
329;Munzier Suparta, Op. Cit., halaman 89-90.
[4] Mushthafa Al-Siba’i, op.cit., hlm. 104.
[5] H.A. Djalil Afif, Op. Cit., halaman 88.
[6] Ajjaj Al-Khatib, op. cit., hlm. 330.
[7] H.A. Djalil Afif, Op. Cit., halaman.
[8] Ibnu Hajar Al-Asqalani, jilid I, op. cit.,
hlm 218.
[9] Abdul
Barr (w.463 H), Jmi’ Bayan …, juz 1, hlm 64 dan al-khatib al-baghdadi (w.463
H), taqyid al-ilmi, hlm.50
[10] Lihatkitab al-jami’ (hadis nomor1395)dalam
imam malik , al-muwhattha’. Urut-urutan sanadnya, diterima dari zaid ibn ali
unaisah, dari abd al-hamid ibn Abdurrahman , dari zaid ibn al-khaththab dari
muslim ibn yasar al-juhany
[11] Ajjaj al-khatib , al-sunnah qabla al-tadwin ,
op.cit., hlm:92-93
[12] Al-Ramahurmuzi, Al- Muhaddits Al-Fashil baina
al-rawi wa al-wa’I, (Beirut: Dar al-fikr, 1984), hlm.127.
[13] H.A. Djalil Afif, Op. Cit., halaman 76.
[14]
Az-zahrani, tadwin as-sunahan-nabawiyah, hal 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar